Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

DPD Ditantang Desak Presiden Batalkan Perjanjian RI-Australia Soal Laut Timor

Dewan Perwakilan Daerah ditantang untuk berani mendesak Presiden agar membatalkan perjanjian dengan Australia terkait Laut Timor.
Ilustrasi: Kangguru, Hewan Khas Australia/sydney-australia-biz
Ilustrasi: Kangguru, Hewan Khas Australia/sydney-australia-biz

Kabar24.com, KUPANG - Dewan Perwakilan Daerah ditantang untuk berani mendesak Presiden agar membatalkan perjanjian dengan Australia terkait Laut Timor.

Tantangan itu disampaikan Ferdi Tanoni, pemerhati masalah Laut Timor juga pemegang mandat hak ulayat masyarakat adat di Laut Timor.

Ferdi menantang DPD agar sesegera mungkin mendesak pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk membatalkan perjanjian RI-Australia tahun 1997 tentang ZEE dan Batas Dasar Laut Tertentu di Laut Timor.

"Sudah semestinya sesuai kewenangan konstitusi yang ada, DPD dapat mendesak Presiden Joko Widodo untuk membatalkan perjanjian yang belum diratifikasi tersebut," kata Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu kepada pers di Kupang, Rabu (3/5/2017), terkait penangkapan 8 nelayan Indonesia oleh Australia beberapa waktu lalu.

Menurut Tanoni, sesuatu perjanjian kerja sama jika belum diratifikasi oleh parlemen suatu negara maka dilarang untuk digunakan. Namun, Australia justru menjadikan perjanjian 1997 itu sebagai tameng untuk memberangus nelayan Indonesia yang mencari makan di Laut Timor.

"Di sini, kita semua harus berpikir secara jernih dan rasional tentang tindakan kekerasan yang dilakukan Australia terhadap nelayan kita yang mencari makan (ikan dan biota laut lainnya) di Laut Timor yang nota bene masih masuk dalam wilayah perairan RI," ujarnya.

DPD sebagaimana diatur dalam UU No.27 Tahun 2009, dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.

DPD juga dilibatkan dalam pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

"Berdasarkan kewenangan konstitusi yang ada, DPD dapat mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera membatalkan perjanjian 1997, dan perlu dirundingkan kembali secara trilateral bersama Timor Leste," kata penulis buku Skandal Laut Timor, Barter Ekonomi Politik Canberra-Jakarta itu.

Menurut dia, perjanjian tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Batas-Batas Dasar Laut Tertentu di Laut Timor itu tidak pernah diratifikasi oleh parlemen kedua negara. Dengan begitu, perjanjian tersebut tidak bisa diimplementasikan sendiri oleh Australia untuk memberangus nelayan Indonesia yang mencari ikan dan biota laut lainnya di Laut Timor.

Perjanjian RI-Australia itu ditandatangani Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas dan Menlu Australia Alexander Downer di Perth, Australia Barat pada 1997.

Mantan agen imigrasi Australia itu mengatakan perjanjian RI-Australia itu harus dinyatakan kedaluarsa dan tidak bisa diimplementasikan lagi, karena Timor Timur telah berdiri menjadi sebuah negara baru di kawasan Laut Timor, dan bukan lagi menjadi bagian integral dari NKRI.

"Saat perjanjian itu ditandatangani, Timor Timur masih menjadi bagian integral dari NKRI, namun melalui referendum pada Agustus 1999, Timor Timur memilih untuk menentukan nasibnya sendiri dengan melahirkan sebuah negara baru di kawasan Laut Timor bernama Republik Demokratik Timor Leste (RDTL)," katanya.

Perjanjian 1997 tersebut, tambahnya, hanya memuat 11 pasal, dan dengan tegas menyatakan "Perjanjian ini mulai berlaku pada saat pertukaran piagam-piagam ratifikasi". Namun, Australia secara sepihak mengimplementasikan Perjanjian 1997 tersebut tanpa mengindahkan pasal-pasal yang tercantum di dalamnya.

Nasib perjanjian 1997, ujar Tanoni, sama halnya dengan MoU 1974. Nota Kesepahaman ini hanyalah sebuah alat politik belaka bagi Australia untuk melakukan aneksasi terhadap seluruh wilayah perairan Indonesia di sekitar Gugusan Pulau Pasir yang kaya dengan ikan dan biota laut lainnya serta memiliki sumber daya alam berupa migas yang berlimpah.

Di sisi lain, ia menyebutkan, Nota Kesepahaman (MoU) yang ditandatangani Pemerintah Australia dan Indonesia pada 1986 tentang Kesiapsiagaan dan Penanggulangan Polusi Minyak di Laut yang seharusnya diimplementasikan dalam kasus petaka tumpahan minyak Montara 2009 di Laut Timor diabaikan bahkan dihindari begitu saja oleh Australia dengan berbagai alasan yang tidak rasional.

Tanoni yang meraih Civil Justice Award Australian Lawyers Alliance 2013 ini kemudian mempertanyakan "Apakah kita (Indonesia) perlu mempertahankan hubungan bilateral dengan Australia yang hanya mementingkan dirinya sendiri, sementara kedaulatan negara kita di Laut Timor dikorbankan begitu saja"?

Atas dasar itu, Tanoni menantang DPD untuk segera mendesak pemerintahan Presiden Joko Widodo membatalkan semua perjanjian kerja sama dengan Australia, karena lebih banyak menguntungkan Negeri Kanguru tersebut.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Newswire
Editor : Saeno
Sumber : Antara
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper