Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BPJS Kesehatan Perkirakan Defisit JKN dan KIS Rp3,6 Triliun

BPJS Kesehatan memperkirakan defisit atau missmatch antara dalam penyelenggaran Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN KIS) mencapai kisaran Rp3,6 triliun sepanjang 2017.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris (kiri) mendampingi Menteri BUMN Rini Soemarno/JIBI-Nurul Hidayat
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris (kiri) mendampingi Menteri BUMN Rini Soemarno/JIBI-Nurul Hidayat
Bisnis.com, JAKARTA – BPJS Kesehatan memperkirakan defisit atau missmatch antara dalam penyelenggaran Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN – KIS) mencapai kisaran Rp3,6 triliun sepanjang 2017.
 
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan missmatch antara pendapatan dengan beban tersebut masih berpotensi terjadi lantaran masih adanya selisih tarif yang ditetapkan dengan tarif yang seharusnya berdasarkan perhitungan aktuaria.
 
“Tahun ini kami perkirakan missmatch mencapai Rp3,6 triliun,” ungkapnya di sela-sela Public Expose Laporan Keuangan dan Laporan Pengelolaan Program JKN-KIS BPJS Kesehatan Tahun 2016, Rabu (23/5/2017).
 
Fachmi mencontohkan tarif untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) atau masyarakat yang mendapatkan subsidi pemerintah, baik APBN maupun APBD, ditetapkan pemeintah senilai Rp23.000.
 
Padahal, berdasarkan perhitungan aktuaria dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada 2015, tarifnya seharusnya mencapai Rp36.000. Dengan begitu, masih ada selisih sekitar Rp13.000 bagi segmen JKN-KIS yang total pesertanya hingga awal 2017 Mei mencapai 92 juta jiwa.
 
“Kalau bicara peserta mandiri, hanya yang kelas 1 yang match, kelas 2 minus 12.000 per kepala dan kelas 3 per kepala minus 27.500,” ungkapnya.
 
Fachmi menjelaskan tanpa penyesuaian iuran terdapat dua opsi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dapat dilakukan agar program JKN-KIS dapat terus berjalan.
 
Pertama, penyesuaian manfaat. Artinya, bila pendapatan iuran tidak sesuai, maka pengeluaran pun mesti dikurangi dengan menghilangkan sejumlah manfaat.
 
“Sebagai gambaran saja, untuk penyakit jantung saja pada tahun lalu ada biaya manfaat senilai Rp7,4 triliun. Jika manfaat itu dihapus, pasti tidak defisit, sebab 2016 defisitnya mencapai Rp6,8 triliun,” jelasnya.
 
Namun, Fachmi menegaskan opsi itu sampai hari ini tidak dipilih pemerintah meskipun dimungkinkan oleh regulasi.
 
Kedua, suntikan dana tambahan melalui penyertaan modal negara (PMN). Fachmi mengatakan setiap tahunnya BPJS Kesehatan, bersama DJSN, sudah menetapkan proyeksi defisit akibat kondisi tersebut.
 
Agar anggarannya berimbang, suntikan dana tambahan dari pemerintah pun direalisasikan dan ditambah juga dengan pendapatan lain, antara lain hasil investasi. “Defisit harus prediktif dan kami harus sampaikan, termasuk ke presiden,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper