Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Waspada Risiko Gagal Bayar Kredit Infastruktur

Perbankan harus berhati-hati dalam menyalurkan kredit ke sektor infrastruktur karena tren pertumbuhan dalam 3 tahun terakhir naik cukup signifikan. Perlu mitigasi risiko lebih dalam apabila ada rencana menaikkan plafon kredit pada sektor tersebut.
Foto aerial proyek pembangunan jalan tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu) di kawasan Rancakalong, Sumedang, Jawa Barat, Selasa (30/5)./Antara-Fahrul Jayadiputra
Foto aerial proyek pembangunan jalan tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu) di kawasan Rancakalong, Sumedang, Jawa Barat, Selasa (30/5)./Antara-Fahrul Jayadiputra

Bisnis.com, JAKARTA – Perbankan harus berhati-hati dalam menyalurkan kredit ke sektor infrastruktur seiring dengan tren pertumbuhan dalam 3 tahun terakhir naik cukup signifikan. Perlu mitigasi risiko lebih dalam apabila ada rencana menaikkan plafon kredit pada sektor tersebut.

Sektor infrastruktur dinilai mengandung risiko kredit bermasalah yang bisa menyulitkan manajemen perbankan, meskipun proyek infrastruktur dijamin oleh pemerintah. Apalagi, pertumbuhan perekonomian masih stagnan di level 5% dan penerimaan pajak pun masih kecil. Sejumlah pihak juga mulai mengkritisi agar pemerintah meninjau kembali proyek infrastruktur seperti proyek listrik 35.000 MW.

Kepala Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness (SIGC) Eric Sugandi menyatakan bank yang mengucurkan kredit ke infrastruktur harus memperhitungkan dengan cermat risiko gagal bayar di sektor tersebut.

"Sektor infrastruktur memang ada risiko default-nya. Misalnya kalau mangkrak, tidak bisa break event, atau kesulitan financing karena salah satu pihak dalam konsorsium tidak berkomitmen. NPL [non performing loan] di sektor ini pun relatif lebih tinggi dibanding sektor-sektor lain," katanya kepada Bisnis, Selasa (18/10/2017).

Risiko mangkrak dan menjadi NPL ada di proyek-proyek yang dibiayai pemerintah. Dia mencontohkan, proyek kereta cepat Jakarta - Bandung serta proyek monorail di Jakarta.

Selain pertimbangan risiko gagal bayar yang harus dicermati, Eric juga menekankan bank perlu memperhatikan risiko lamanya waktu untuk mencapai break event point di sektor infrastruktur.

"Dengan waktu yang relatif lama untuk mencapai BEP di sektor infrastruktur, maka perkiraan future cash flows dari debitur juga mesti diperhatikan dengan cermat," katanya.

Penyaluran kredit perbankan ke sektor infrastruktur memang meningkat pesat, seiring dengan masifnya pembangunan.

Kredit yang dikucurkan ke sektor infrastruktur ada kenaikan cukup signifikan. Hal itu tergambar dari data Statistik Perbankan Indonesia (SPI). Penyaluran kredit bank umum untuk lapangan usaha listrik, gas dan air per 2016 mencapai Rp135,48 triliun, tumbuh 66,9% dibandingkan dengan2014 sebesar Rp81,1 triliun.

Adapun, per Juli tahun ini, pertumbuhannya tercatat sebesar 11,1% secara year on year (yoy) dari Rp115,81 triliun menjadi Rp128,76 triliun.

Gambaran lainnya, penyaluran pembiayaan ke lapangan usaha konstruksi juga tumbuh  45% dari Rp147,26 triliun pada 2014 menjadi Rp214,75 pada akhir tahun lalu. Sampai Juli 2017, pembiayaannya telah tumbu 24,2% menjadi Rp238,16 triliun.

Penyaluran kredit ke sektor infrastruktur diakui menjadi pengerek pertumbuhan pembiayaan perbankan, terutama bank-bank bermodal besar.

Salah satunya PT Bank Central Asia Tbk. yang menyatakan plafon pembiayaan sindikasi ke proyek infrastruktur akan terus ditingkatkan sampai akhir tahun.

Sekretaris Perusahaan BCA Jan Hendra menuturkan, dalam tiga bulan ke depan, pihaknya berharap ada kenaikan sindikasi sebesar Rp6 triliun dari sejumlah proyek yang diikuti.

"Plafon kredit sindikasi yang diikuti oleh BCA Rp8,35 triliun sampai saat ini. Diharapkan akan meningkat ke Rp14,35 triliun pada akhir tahun, sebagian besar ada di infrastruktur," katanya kepada Bisnis, Rabu (18/10).

Sebagai informasi, BCA termasuk dalam salah satu bank yang akan ikut dalam sindikasi proyek kereta ringan (LRT) Jabodetabek. Financial closing proyek tersebut ditargetkan pada November mendatang.

Pada kesempatan sebelumnya, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Achmad Baiquni mengatakan porsi kredit infrastruktur perseroan sekitar 24% dari total kredit.

Dari total porsi kredit infrastruktur itu, sebanyak 26% kepada jalan tol, 24% kepada pembangkit listrik, dan sisanya disalurkan ke sektor telekomunikasi sampai pelabuhan.

Sampai September 2017, bank berkode emiten BBNI itu pun mencatatkan pertumbuhan kredit sebesar 13,3% menjadi Rp421,41 triliun dibandingkan dengan periode sama pada tahun lalu.

Terkait dengan kredit bermasalah, menurut Baiquni, belum ada kenaikan pada sektor infrastruktur. Secara keseluruhan, rasio kredit bermasalah secara gross perseroan sebesar 2,8%.

“Kalau, kami penyaluran kredit infrastruktur kan paling ke jalan tol dan PLN [PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)], sejauh ini tidak ada masalah. Sempat ada satu jalan tol, tetapi tidak masalah lagi karena kan sudah di take over,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper