Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Candu Ponsel, Medsos, dan Partisipasi Politik

Riset Qualtics dan Accel baru-baru ini menunjukkan bahwa 79% generasi milenial tidur ditemani gawai dan setengahnya terbangun tengah malam hanya untuk memeriksa perangkat tersebut.
Ilustrasi/Hoovers
Ilustrasi/Hoovers

Berapa lama dalam sehari Anda menatap layar telepon pintar? Di AS, 5 jam adalah rata-rata yang dihabiskan orang dalam sehari hanya untuk memelototi smartphone. Fenomenanya, durasi interaksi manusia dengan gawai ini semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Begitu bangun tidur, mayoritas pemilik telepon cerdas juga rajin mengecek perangkat ini. Makin terkoneksinya manusia, makin sering interaksi dengan perangkat smartphone, makin sering orang merasa terikat dengan apa yang ada di dalam dunia maya.

Riset Qualtics dan Accel baru-baru ini menunjukkan bahwa 79% generasi millenial tidur ditemani gawai dan setengahnya terbangun tengah malam hanya untuk memeriksa perangkat tersebut. Pada 2013, pada studi yang berbeda, 63% pengguna smartphone berumur 18-29 tahun tidur ditemani HP, atau telepon pintar, atau tablet.

Generasi millenial ini juga tercatat mengecek HP sebanyak 150 kali dalam sehari.

Di Indonesia, berdasarkan Globalwebindex kuartal III dan IV/2016 (survei pengguna Internet berumur 16-64 tahun) menunjukkan rata-rata 3 jam 16 menit dihabiskan masyarakat untuk bermedia sosial. Akses Internet via perangkat mobile mendekati 4 jam sehari, sedangkan akses melalui PC atau tablet mencapai 8 jam 44 menit.

Candu Ponsel, Medsos, dan Partisipasi Politik

Jika anda bertanya mengapa kita begitu ketagihan, mungkin riset pada 2012 jadi jawabannya. Kent C. Berridge dan Terry E. Robinson dalam Brain Research Reviews menengarai bahwa mengecek pesan masuk, e-mail atau media sosial ternyata menyebabkan otak memproduksi dopamin.

Dopamin tak hanya berhubungan dengan sistem ‘kesenangan’ dalam otak, tapi juga menyebabkan perilaku pencarian. Dopamine membuat Anda menginginkan sesuatu, bergairah, mencari-cari, dan menelusurinya.

Dan, sebuah alasan lagi kenapa efek layar telepon genggam membuat kita lebih kuat terjaga pada malam hari dibandingkan dampak segelas espresso. Tentunya, tak banyak dari kita yang beranjak ke kasur dengan segelas kopi, tapi mayoritas dengan sukarela akan membawa telepon genggam mereka.

Stress dan Depresi

Salah satu dampak jangka panjangnya adalah tingkat stress dan depresi. Studi dari Northwestern Medicine menunjukkan bahwa semakin sering seseorang menggunakan telepon seluler, semakin mungkin orang tersebut menderita depresi. Inilah barangkali kenapa interaksi di media sosial sering berujung pada pertengkaran baik di dunia maya maupun berlanjut secara fisik.

Soal depresi ini mengingatkan saya dengan obrolan singkat beberapa bulan lalu. Seorang konsultan politik, begitu dia mengenalkan diri dalam sebuah diskusi soal anonimitas dalam aktivitas politik warga di dunia maya, menengarai perilaku destruktif yang semakin meningkat dalam aktivitas via media sosial.

Sebagai konsultan politik, dia banyak berdialog dengan warganet lewat perdebatan di media sosial, selain meriset perilaku berpolitik warga di era digital. Pilkada DKI tahun lalu sukses membuat sebagian temannya melakukan unfriend atau putus pertemanan di jejaring sosial Facebook, beberapa melakukan blocking, atau muncul teman lama yang tiba-tiba mengajak berdebat.

Anehnya, kata konsultan itu, perdebatan yang sampai pada tahap unfriend atau bermusuhan tidak pernah dialaminya manakala tarung wacana politik itu dilakukan di dunia nyata, alias berhadap-hadapan secara fisik. Padahal, kadang perbedaan pandangannya jauh lebih kuat dibandingkan dengan perang komentar di medsos.

Baginya yang bukan ahli psikologi, berdialog secara langsung lebih banyak memberi rasa empati karena mengetahui pada kondisi semacam apa lawan bicaranya ketika itu. Ketika lawannya sedang terlihat stress atau marah, kita lebih hati-hati melontarkan sesuatu yang menyinggung. Di media sosial, tak ada kesempatan menilai tingkat stress atau depresi lawan bicara Anda.

Gestur, mimik muka dan aneka macam gerakan adalah informasi yang tidak bisa kita peroleh dalam interaksi via media sosial. Meskipun medsos memberi waktu delay dalam menjawab atau menentang pernyataan yang tidak disetujui, nyatanya tempo tersebut bukannya membuat netizen lebih terkontrol atau lebih punya data ketika melontarkan pernyataan.

Di tahun politik, tahun depan, drama-drama hubungan sosial barangkali akan berulang. Fenomena unfriend di media sosial kembali marak. Namun, jangan sampai hanya karena beda pendapat atau melontarkan pendapat yang berbeda berujung pada tindakan bullying seperti kasus dokter Fiera Lovita yang ‘diburu’ di dunia nyata.

Dunia politik dalam ponsel memang rentan, apalagi jika penggunanya berada di level depresi yang sulit mengendalikan jari dan berujung emosi. Para pengguna ponsel mungkin saatnya rekreasi. Jangan sampai, candu bernama media sosial itu membuat Anda malah berujung sepi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper