Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kasus BLBI: KPK Dalami Peran Dorodjatun Kuntjoro-Jakti Terkait SKL Sjamsul Nursalim

Komisi Pemberantasan Korupsi perlu mendalami peran Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dalam penerbitan surat keterangan lunas kepada obligor BLBI Sjamsul Nursalim.
Mantan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (4/5)./Antara-Widodo S Jusuf
Mantan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (4/5)./Antara-Widodo S Jusuf

Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi perlu mendalami peran Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dalam penerbitan surat keterangan lunas kepada obligor BLBI Sjamsul Nursalim.

Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan bahwa Dorodjatun merupakan penandatangan surat keterangan lunas (SKL) pada April 2004 sehingga penyidik menilai mantan menteri tersebut perlu diperiksa secara khusus untuk mengetahui latar belakang penerbitan surat tersebut.

“Saksi yang diperiksa hari ini merupakan Ketua Komite Kebijakan Sistem Keuangan yang menandatangani penerbitan SKL. Padahal berdasarkan penyidikan, obligor belum menyelesaikan kewajiban,” ujarnya, Selasa (2/1/2018).

Seperti diketahui, pada 11 Februari 2004, dalam sidang kabinet terbatas, Syafruddin Temenggung, Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), melaporkan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri bahwa utang petani tambak besarnya adalah Rp3,9 triliun, utang yang bisa dibayar adalah sebesar Rp1,1 triliun dan sisanya Rp2,8 triliun diusulkan untuk di-write off. Pada alinea 26 disampaikan olehnya bahwa di BPPN write off-nya memungkinkan untuk dilakukan penghapusan pembukuan.

Permohonan tersebut nampaknya bertentangan dengan Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri selaku Ketua KKSK 20 Januari 2000 yang ditandatangani oleh Kwik Kian Gie dan pada intinya menyatakan bila jumlah aset dan/atau uang tunai yang diserahkan tidak cukup untuk menyelesaikan jumlah utang yang tertunggak, maka akan dilakukan penghapusbukuan atas jumlah utang yang masih tersisa dengan pedoman tidak terdapat ketidakwajaran serta debitur dan pemberi paminan telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membayar kewajiban utangnya.

Sehari setelah rapat terbatas, Syafruddin kemudian mengirimkan surat kepada KKSK yang mirip dengan surat 19 Januari dengan tambahan keterangan penghapusan porsi uang sustainable Rp2,8 triliun sesuai sidang kabinet terbatas sehari sebelumnya. Padahal faktanya tidak ada keputusan Presiden terkait penyelesaian utang petambak plasma Dipasena yang diusulkan oleh Temenggung dalam rapat tersebut.

Berpedoman pada laporan eksekutif BPPN tersebut, pada 13 Februari 2004 KKSK mengeluakran surat keputusan yang pada angka 3 poin a, nilai utang masing-masing petambak plasma ditetapkan setinggi-tingginya sebesar Rp100 juta.

Dengan penetapan nilai utang maksimal tersebut maka dilakukan penghapusan atas sebagian utang pokok secara proporsional sesuai beban utang masing-masing petambak plasma dan penghapusan seluruh tunggakan bunga serta denda. Angka kewajiban baru berdasarkan kebijakan ini diverifikasi/ditetapkan oleh BPPN.

Sementara pada poin e, dengan adanya keputusan penanganan penyelesaian kewajiban debitur petambak plasma PT. DCD tersebut di atas maka keputusan-keputusan KKSK sebelumnya yang berisi perintah penagihan utang ke Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI sehingga menyebabkan hilangnya hak tagih.

Syafruddin selaku Ketua BPPN tidak mempresentasikan kepada KKSK tentang hak tagih sebesar Rp4,8 triliun kepada kepada petambak PT. Dipasena Citra Darmaja (DCD) dan PT. Wahyuni Mandira (WM) yang merupakan faktor pengurang kewajiban Sjamsul Nursalim dalam Master Settlement And Acquisition Agreement (MSAA) yang masih bermasalah.

Berpedoman pada keputusan KKSK itulah, BPPN kemudian menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) dengan nomor surat SKL-22/PKPS-BPPN/0404 pada 26 April 2004 kepada obligor BDNI Sjamsul Nursalim, padahal masih ada kewajiban obligor yang belum dipenuhi, yaitu sebesar Rp4,8 triliun.

KPK menilai, sejak menjabat selaku Sekretaris KKSK periode 2000-2002, Temenggung sudah mengetahui hak tagih/piutang PT DCD dan PT WS bermasalah dan statusnya macet yang seharusnya tidak dapat dihitung sebagai pengurang dari kewajiban Sjamsul Nursalim, namun pada saat menjabat Ketua BPPN periode 2002-2004, dia justru mengajukan penghapusan hak tagih/piutang PT DCD dan PT WS.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Saeno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper