Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BI Siapkan Sanksi Tegas Terhadap Transaksi Virtual Currency

Bank Indonesia (BI) menegaskan akan memberikan sanksi yang tegas bagi penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) dan penyelenggara teknologi finansial di Indonesia baik bank dan non bank yang kedapatan memproses transaksi untuk virtual currency.
Karyawan keluar dari gedung Bank Indonesia di Jakarta./JIBI-Dedi Gunawan
Karyawan keluar dari gedung Bank Indonesia di Jakarta./JIBI-Dedi Gunawan
Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menegaskan akan memberikan sanksi yang tegas bagi penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) dan penyelenggara teknologi finansial di Indonesia baik bank dan non bank yang kedapatan memproses transaksi untuk virtual currency. 
 
 
Pasalnya, kata Kepala Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Eni V Panggabean, BI sudah menegaskan bahwa virtual currency tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia.
 
 
"Kita akan panggil dan kenakan sanksi keras apabila ada PJSP, bisa bank dan bukan bank yang melakukannya," tegasnya di Gedung BI, Senin (15/1).
 
 
Menurutnya yang disebut sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) yakni termasuk prinsipal, penyelenggara switching, penyelenggara kliring, penyelenggara penyelesaian akhir, penerbit, acquirer, payment gateway, penyelenggara dompet elektronik, dan penyelenggara transfer dana.
 
 
Eni mengatakan bahwa pelarangan itu sudah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No.7/2011 tentang Mata Uang yang menyatakan bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah NKRI wajib menggunakan rupiah dan PBI No.17/3/PBI/2015 tersebut yang Kewajiban Penggunaan Rupiah.
 
 
Selain itu, juga diatur dalam PBI 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran (PTP) di mana pasal 34 menyatakan bahwa PJSP dilarang melakukan pemrosesan transaksi pembayaran dengan virtual currency. 
 
 
Dan juga sebagaimana terdapat dalam PBI 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial di mana Pasal 8 menyatakan bahwa penyelenggaraan teknologi finansial dilarang melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan virtual currency.
 
 
Menurutnya pemilikan virtual currency sangat berisiko dan sarat akan spekulasi karena tidak ada otoritas yang bertanggung jawab, tidak terdapat administrator resmi.
 
 
Selain itu juga tidak terdapat underlying asset yang mendasari harga virtual currency serta nilai perdagangan sangat fluktuatif sehingga rentan terhadap risiko penggelembungan (bubble) serta rawan digunakan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme, yang dapat mempengaruhi kestabilan sistem keuangan dan merugikan masyarakat.
 
 
Eni mencontohkan sejumlah kasus virtual currency yang merugikan pemegangnya antara lain Mt. Gox, sebuah perusahaan bitcoin exchange di Jepang. Pada 2014 terjadi pencurian bitcoin dari pemegang wallet yang dikelola oleh Mt. Gox.
 
 
Akibatnya Mt. Gox menghentikan perdagangan, perusahaan dan layanan penukaran, dan mengajukan kepailitan Kerugian sebesar 850 ribu bitcoin atau setara USD450 juta pada saat itu.
 
 
Selain itu ada juga kasus virtual currency exchange yang bermarkas di London, Bitstamp (2015). Hacker berhasil meretas hot wallet di Bitstamp sehingga Bitstamp terpaksa menutup situs dan meminta semua nasabah untuk berhenti melakukan deposit ke wallet. Kerugian 19 ribu bitcoin atau setara USD5 juta pada saat itu.
 
 
"Ada juga Silkroad. Online platform yang melayani penjualan narkoba. FBI berhasil membekukan sekitar USD28,5 juta," ujarnya.
 
 
Onny Widjanarko, Kepala Pusat Program Transformasi BI menambahkan bahwa BI sebagai otoritas di bidang moneter, stabilitas sistem keuangan dan sistem pembayaran senantiasa berkomitmen menjaga stabilitas sistem keuangan, perlindungan konsumen dan mencegah praktik-praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme.
 
 
Menurut Onny yang paling bahaya dari keberadaan Bitcoin adalah proses penciptaan uangnya. "Coba waktu krisis bunga naik 60% berarti jumlah uang yang beredar adalah 1 ditambah dengan 60% uang beredar, kalau Bitcoin tidak hanya 60% tapi 134 kali. Itu sangat bahaya kalau proses penciptaan uangnya sangat berlebihan," ujarnya.
 
 
Menurutnya akibat dari hal itu bisa terjadi bubble. "Jadi untuk apa uang hanya untuk melayani uang, kalau tidak normal akan terjadi krisis. Nah sistem keuangan seperti itu yang harus dijaga, kalau tidak nanti barang tidak ada harganya karena jumlah uang berlipat-lipat di sana. Itu jadi concern BI," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper