Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kelapa Sawit: Solusi Strategi Jangka Benah Ditawarkan

Ekspansi kelapa sawit ke dalam hutan dan sistem monokulturnya dianggap sebagai penyebab hilangnya keanekaragaman hayati, degradasi kualitas ekosistem hutan, dan bencana alam.
Ilustrasi/Antara
Ilustrasi/Antara

Bisnis.com, BALIKPAPAN -- Ekspansi kelapa sawit ke dalam hutan dan sistem monokulturnya dianggap sebagai penyebab hilangnya keanekaragaman hayati, degradasi kualitas ekosistem hutan, dan bencana alam.

Penyelesaian terhadap persoalan tersebut memerlukan strategi kebijakan yang komprehensif. Bukan hanya menghentikan ekspansi kebun kelapa sawit, tetapi juga bagaimana meminimalisir dampak dari ekspansi, baik terhadap lingkungan, sosial, maupun ekonomi masyarakat.

Strategi Jangka Benah (SJB) menjadi salah satu upaya yang ditawarkan untuk menyelesaikan masalah kebun kelapa sawit rakyat monokultur yang “terlanjur” berada di dalam kawasan hutan.

Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI Riki Frindos menjelaskan bahwa Jangka Benah adalah periode waktu yang dibutuhkan untuk mencapai struktur hutan dan fungsi ekosistem yang diinginkan sesuai tujuan pengelolaan.

Dalam SJB, proses perbaikan struktur dan fungsi ekosistem hutan yang rusak akibat ekspansi kebun kelapa sawit monokultur dilakukan secara bertahap, dengan fokus perbaikan pada aspek ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat.

"Tahap pertama dalam sosialiasi SJB adalah mengubah kebun kelapa sawit rakyat monokultur di dalam kawasan hutan menjadi kebun campur sawit dalam bentuk agroforestri,"jelasnya Jumat (20/12/2019).

Dia melanjutkan, jenis tanaman yang akan ditanam antara lain yaitu sengon, gaharu, meranti, dan jengkol. Tanaman-tanaman tersebut dipilih selain memberikan dampak ekologis, juga dapat memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat.

Namun, agroforestri sawit tidak benar-benar berjalan mulus. Hasil identifikasi Fakultas Kehutanan UGM (2018) menunjukkan bahwa sebenarnya praktik penanaman sawit campur dengan tanaman kehutanan (agroforestri sawit) sudah dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia, namun dalam skala terbatas. Alasannya, petani sawit masih mempunyai keraguan untuk mengadopsi agroforestry sawit terutama karena mempunyai asumsi bahwa mengelola agroforestri kelapa sawit lebih rumit dibandingkan dengan mengelola kebun kelapa sawit monokultur.

Asumsi lain yaitu bahwa penambahan jenis lain pada kebun kelapa sawit monokultur pada satu bidang lahan yang sama akan menyebabkan turunnya produksi tandan buah segar sawit. Petani juga berharap contoh konkrit agroforestri sawit yang dikelola secara baik sehingga memberikan keuntungan ekonomi yang lebih baik daripada praktik sawit monokultur. Selain kurangnya praktik agroforestri sawit, permasalahan lainnya dalam mengimplementasikan SJB di tingkat tapak adalah kelembagaan dan kurangnya dukungan kebijakan, baik dari pemerintah pusat maupun daerah.

Sejauh ini strategi Jangka Benah (SJB) juga disosialisasikan melalui pembuatan demplot di tingkat tapak. Salah satu lokasi pembuatan demplot yaitu KPHP Mentaya Tengah – Seruyan Hilir atau yang sering disingkat KPHP Menteng-Selir, Kabupaten Kotawaringing Timur, Kalimantan Tengah. Lokasi tersebut dipilih karena memiliki tutupan sawit monokultur di dalam kawasan cukup luas yang dikelola oleh masyarakat dan perusahaan yang berpotensi konflik. Selain itu, berdasarkan survey lapangan, wawancara dengan masyarakat desa, dan kelompok diskusi terarah menunjukkan kesiapan beberapa petani sawit di wilayah KPHP Menteng-Selir, terutama yang berada di Desa Karangsari untuk mengimplementasikan SJB.

“Strategi Jangka Benah (SJB) merupakan rangkaian pararel dari strategi perbaikan tata kelola sawit yang ada di Indonesia. SJB melalui agroforestri sawit (dengan komoditas tanaman sawit dengan sengon, meranti dan jengkol) diharapkan dapat menghasilkan perbaikan struktur dan fungsi ekosistem hutan, dengan tetap mempertimbangkan ekonomi masyarakat” tutur Direktur Program Strengthening Palm Oil Sustainability (SPOS) Yayasan KEHATI Irfan Bakhtiar. “Strategi ini diharapkan dapat membantu penanganan sawit di dalam Kawasan hutan, dengan solusi yang “win-win” bagi ekologi dan ekonomi,” lanjut Irfan.

Selama ini, kelapa sawit diibaratkan sebagai dua sisi mata uang. Di satu sisi merupakan penopang perekonomian Indonesia, di sisi lain dianggap sebagai penyebab terbesar kerusakan ekosistem hutan di Indonesia.

Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada 2018 sumbangan devisa minyak kelapa sawit mencapai US$20,54 miliar atau setara Rp289 triliun. Namun, kerugian yang ditanggung pun dianggap tak ternilai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Ajijah

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper