Bisnis.com, PONTIANAK – Bank Pasar Pontianak diminta lebih berinovatif mengejar laba guna mengisi kas daerah menyusul tidak adanya penyertaan modal dari pemerintah kota untuk Badan Usaha Milik Daerah tersebut.
Wakil Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono mengatakan, kepastian tidak adanya penyertaan modal karena tidak dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2016.
“Jadi Bank Pasar (BP) Pontianak harus lebih inovatif lagi supaya mau berkembang karena kami tidak menyertakan modal untuk 2016. Kami sudah lama tidak menyertakan modal untuk BP Pontianak,” kata Edi kepada Bisnis, belum lama ini.
Edi mengatakan, BP Pontianak bisa menghimpun dana dari pegawai negeri sipil (PNS) jajaran Pemkot Pontianak termasuk menyalurkan kredit supaya BP memiliki likuiditas yang baik.
Dia mengakui posisi BP Pontianak dilema, di samping dituntut menghasilkan laba tetapi di sisi lain Pemkot Pontianak melakukan kerja sama dengan Bank Kalimantan Barat sebagai bank yang menyalurkan gaji pegawai serta tempat jaminan SK Kepegawaian untuk meminjam dana.
Fasilitas sarana yang masih minim seperti belum ada mesin anjungan tunai mandiri (ATM) itulah, kata Edi, yang menjadi belum berminatnya masyarakat Kota Pontianak dan PNS memilih BP Pontianak untuk menabung.
Menurutnya, kinerja BUMD BP Pontianak yang belum memuaskan termasuk PD Kapuas Indah yang telah dibubarkan, berbanding terbalik dengan kinerja perusahaan daerah air minum (PDAM) Tirta Khatulistiwa Pontianak.
“PDAM Tirta Khatulistiwa sekarang kinerjanya sehat tinggal meningkatkan kualitas air itu bertahap. Untuk kapasitas ada penambahan 500 liter per detik dari existing 1.450 liter per detik,” kata dia. Hampir 90% penduduk kota Pontianak tersambung instalasi pipa PDAM.
Sementara itu, BUMD PD Kapuas Indah sudah diambil oleh Pemkot Pontianak menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Pontianak.
Sebelumnya, PD Kapuas Indah dibubarkan oleh Pemkot Pontianak atas persetujuan DPRD Kota Pontianak pada 14 Desember 2015.
Perusahaan daerah ini dibubarkan karena tidak mampu mengelola aset hingga Rp40 miliar dan hanya untung Rp600 juta selama beroperasi sepanjang 13 tahun.