Bisnis.com, BALIKPAPAN – Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian mengungkapkan jumlah perusahaan yang mendapat sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) atau Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia masih minim.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Dedi Junaidi menyatakan hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan lahirnya Peraturan Presiden no 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.
Aturan ini kemudian diturunkan menjadi Peraturan Menteri Pertanian no 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.
”Peraturan ini jelas mewajibkan untuk perusahaan perkebunan dan pekebun untuk melakukan sertifikasi dalam batas 5 tahun,” ujarnya dalam webinar BINGKA KALTIM: Bincang Komoditas Perkebunan Lestari Kalimantan Timur seri kedua, Kamis, (28/1/2021).
Webinar tersebut digelar atas kerja sama Forum Komunikasi Perkebunan Berkelanjutan Provinsi, Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur, Forum Komunikasi Perkebunan Kabupaten Berau dan YKAN (Yayasan Konservasi Alam Nusantara).
Dedi menjelaskan bahwa sertifikasi ISPO memiliki tujuan penting diantaranya, meningkatkan upaya percepatan penurunan emisi gas rumah kaca dan meningkatkan penerimaan serta daya saing hasil perkebunan kelapa sawit Indonesia di pasar nasional dan internasional.
Baca Juga
Kendati demikian, pengurusan sertifikasi ISPO dinilai mudah dan dapat mendatangkan banyak manfaat seperti Kelompok Tani Amanah yang mendapatkan informasi terkait pengelolaan kebun sawit yang berkelanjutan dalam proses sertifkasi ISPO.
“Kami juga mendapatkan pelatihan terkait peduli lingkungan dan satwa yang dilindungi,” kata Ketua Asosiasi Petani Swadaya Amanah Kabupaten Pelalawan, Riau Narno.
Selain itu, pekebun juga mendapatkan pelatihan teknik pertanian layaknya pemupukan sesuai hasil analisa laboratorium, hingga penjualan Tandan Buah Segar yang terkontrol.
Dampaknya, kini pekebun sawit di kelompoknya bisa meminimalisir biaya pengelolaan kebun, mendapatkan hasil produksi yang cenderung meningkat, mendapatkan penambahan hasil dari kredit (premium) untuk jangka waktu tertentu,memiliki rencana replanting, hubungan kemitraan semakin kuat, dan menjadi inspirasi bagi petani di daerah lain.
“Hal-hal yang sebelumnya kami tidak bayangkan dan kami belum ketahui,” terangnya.
Kemudian, terkait biaya pengurusan, Dedi mengatakan bahwa pemerintah siap membantu pekebun rakyat dalam proses sertifikasi ISPO.
Adapun, biaya sertifikasi dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dimana, pendanaan tersebut dapat digunan untuk pelatihan, pendampingan pemenuhan prinsip dan kriteria ISPO, dan/atau sertifikat ISPO awal.
“Biaya penilikan dan sertifikasi ulang ISPO dibebankan kepada pekebun, tetapi untuk perusahaan besar, semua biaya ditanggung perusahaan itu sendiri," pungkasnya.
Sebagai informasi, luas area perkebunan sawit yang mencakup sertifikat ISPO adalah sebanyak 5.450.329 ha atau 38,03 persen dari total luas kebun sawit 14,33 juta Ha pada Januari 2020.