Bisnis.com, BALIKPAPAN – Asosiasi Pengusaha Kawasan Berikat (APKB) Wilayah Sumatera dan Kalimantan memperkirakan penurunan ekspor crude palm oil (CPO) mencapai 60 persen selama kebijakan pelarangan diberlakukan pemerintah.
Ketua APKB Wilayah Sumatera dan Kalimantan Ryo Kurniawan menyatakan terjadi penurunan sangat signifikan di Pulau Sumatera.
“Kapal biasanya satu bulan ekspor mencapai 50.000 MT, sekarang hanya beberapa. Dari [jumlah] 15 kapal [pengangkut CPO] jadi 2 sampai 3 kapal,” ujarnya, Kamis (26/5/2022).
Dia menyebutkan, hal itu menyebabkan kerugian dari berbagai pihak seperti pengusaha, kapal pengangkut CPO, buyer yang terikat kontrak.
Meski tidak dapat merinci total kerugian yang ditimbulkan, Ryo menyebutkan dari sisi petani juga dirugikan yang tidak dapat menjual Tandan Buah Segar (TBS) mereka ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) karena kondisi tangki timbun yang penuh.
“Harga merosot untuk CPO dan turunannya akibat pelarangan ini. Kita tau sudah dibuka, tapi sampai saat ini belum ada terkait teknis ketentuan untuk penerbitan PE baik manual maupun by sistem,” sebutnya.
Baca Juga
Selain itu, dia mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah terkait pelarangan ekspor CPO telah berbeda dengan definisi kawasan berikat yang diberikan bea cukai.
“Tidak berbanding dengan fasilitas. Kawasan berikat yang harusnya kita tujuan ekspor, bukan lokal,” ungkapnya.
Di sisi lain, Ryo mengaku senang Apical Group melalui PT Kutai Refinery Nusantara (KRN) telah melakukan ekspor perdana Palm Kernel Expeller (PKE) sebesar 7.000 ton ke Korea Selatan, Kamis (26/5/2022).
Dia menyebutkan PKE yang berupa residu bungkil memiliki nilai jual tinggi di luar negeri, sehingga dapat meningkatkan devisa negara baik bea luar maupun tarif pungutan ekspor atau levy minyak sawit.
“Kami dari APKB sangat senang, karena bagus untuk pemulihan ekonomi nasional,” sebutnya.
Adapun, dia menuturkan bahwa di wilayah Kalimantan masih berpotensi untuk mengembangkan produk turunan CPO seperti Oleo Chemical yang didorong dengan berdirinya sejumlah perusahaan sawit di Benua Etam. “Yang pasti bahan baku jangan dari Kalimantan aja dari Sumatera juga,” katanya.