Bisnis.com, BALIKPAPAN — Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kalimantan Timur dan Utara (Kanwil DJP Kaltimtara) menyerahkan dua tersangka penggelapan pajak senilai total Rp1,74 miliar ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Balikpapan, Senin (14/11/2022).
Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kanwil DJP Kaltimtara Sihaboedin Effendy menyatakan kedua tersangka yaitu FH seorang Freelance CV KP melakukan penggelapan pajak senilai Rp1,4 miliar dan HR menjabat Direktur PT ACB tidak menyetorkan pajak sebesar Rp342 juta.
“Tim Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kanwil DJP Kaltimtara melalui Tim Korwas Ditreskrimsus Polda Kalimantan Timur melakukan penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti (tahap 2) atas kasus dugaan tindak pidana di bidang perpajakan kepada Kejari Balikpapan melalui Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (14/11/2022).
Dia memaparkan tersangka inisial FH telah diserahkan ke Kejari Balikpapan sebagai tindak lanjut penyelesaian penyalahgunaan pajak yang telah menimbulkan kerugian negara.
“FH diduga kuat telah menggelapkan pajak dari CV KP pada masa pajak April 2017 sampai dengan Desember 2018,” paparnya.
Dia melanjutkan, direktur CV KP menugaskan FH sebagai pekerja lepas untuk membuat laporan dan melakukan penyetorkan pajak ke dalam kas negara. Namun, FH malah menggunakan uang pajak tersebut untuk kebutuhan pribadi dengan memanipulasi laporan pajak dan bukti setoran bank agar terlihat memiliki kemiripan dengan bukti yang autentik kemudian menyerahkan bukti-bukti palsu tersebut kepada direktur CV KP.
Baca Juga
“Dalam pemanggilan sebagai saksi, FH mengakui dengan sengaja melakukan manipulasi tersebut,” katanya.
Tersangka FH dipersangkakan telah melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c dan/atau Pasal 39 ayat (1) huruf d juncto Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Atas pelanggaran tersebut FH dapat dihukum dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun dan denda paling sedikit dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan maksimal empat kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Setali tiga uang, dugaan tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh HR diketahui berlangsung selama kurun waktu Januari 2016 sampai dengan Desember 2016 melalui PT ACB.
HR merupakan Direktur PT ACB diduga kuat telah melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf d juncto Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Sihaboedin menjelaskan, HR dengan sengaja menyampaikan SPT Masa PPN yang isinya tidak benar atau tidak lengkap serta tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut.
“Modus operandi yang dilakukan oleh HR melalui PT ACB diketahui dengan sengaja menerbitkan Faktur Pajak atas Jasa Pekerjaan Konstruksi dan Land Clearing terhadap PT MAU namun tidak melakukan penyetoran pajak (PPN) ke dalam kas negara,” jelasnya.
Atas perbuatan tersebut HR diancam pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun dan denda paling sedikit dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan maksimal empat kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Sihaboedin menuturkan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh FH dan HR secara nyata menyimpang dari aturan perpajakan yang berlaku dan sangat merugikan negara.
Dia berharap upaya penegakan hukum di bidang perpajakan ini dapat meningkatkan kesadaran wajib pajak untuk berkontribusi sesuai kewajiban perpajakannya sebagai bentuk sikap gotong royong dalam membangun Indonesia yang lebih maju.
“Untuk menegakkan keadilan dan stabilitas penerimaan negara maka tindakan penegakan hukum ditempuh sebagai langkah terakhir (ultimum remedium) untuk menindak tegas perbuatan yang melanggar peraturan perundang- undangan,” pungkasnya.
Sebagai informasi, DJP selaku institusi penghimpun pajak negara akan berupaya untuk memberikan deterrent effect kepada individu maupun badan hukum yang berniat melakukan penggelapan pajak.