Bisnis.com, BALIKPAPAN — Penerapan regulasi Over Dimension Over Load (ODOL) yang dijadwalkan berlaku penuh pada 2026 menciptakan permasalahan paradoks bagi pengusaha angkutan di Kalimantan Timur (Kaltim).
Di satu sisi, para pengusaha mendukung kebijakan tersebut, namun di sisi lain mereka menghadapi dilema ekonomi yang berpotensi memicu gejolak sektor logistik.
Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kalimantan Timur, Ibrahim, menyatakan pihaknya tengah berada dalam posisi yang sulit meski regulasi ODOL masih dalam tahap sosialisasi.
"Kami mendukung penuh peraturan ODOL karena muatan yang lebih ringan berarti perawatan kendaraan lebih mudah, risiko kecelakaan berkurang, dan armada lebih awet," kata Ibrahim kepada Bisnis, Selasa (15/7/2025).
Kendati demikian, dia menyebutkan tantangan terbesar justru muncul dari pemilik barang yang enggan menanggung kenaikan biaya operasional.
Hal ini menciptakan situasi yang secara teknis memungkinkan, tetapi secara ekonomis tidak menguntungkan.
Baca Juga
Ibrahim mengatakan, permasalahan konkret terlihat pada angkutan kontainer. Sebuah kontainer 22 ton yang biasanya diangkut dengan biaya Rp 1,2 juta, kini harus dibagi menjadi 2 perjalanan untuk mematuhi batas maksimal 15 ton.
Konsekuensinya, pemilik barang diminta membayar 2 kali lipat untuk 1 kontainer yang sama.
"Pemilik barang hanya mau membayar sesuai tarif per kontainer, bukan per perjalanan," jelas Ibrahim.
Situasi serupa terjadi pada angkutan alat berat seperti ekskavator PC200 seberat 20 ton yang secara fisik tidak mungkin dibagi dalam beberapa perjalanan.
Lebih jauh, Ibrahim mengungkapkan bahwa dilema ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan fundamental dalam struktur bisnis transportasi.
"Pemilik barang tahunya memesan pengangkutan untuk 1 unit utuh," ucap dia.
Tak pelak, ketidakseimbangan struktur biaya ini menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan pengusaha transportasi.
Ibrahim menegaskan bahwa jika tidak ada solusi harga yang adil, para pengemudi di Kaltim akan berhenti beroperasi secara sukarela karena alasan ekonomi.
"Ini bukanlah ancaman mogok, melainkan penghentian operasional karena biaya tidak lagi sepadan," tegasnya.
Menurutnya, dampak akan terjadi secara luas pada aktivitas transportasi yang terhenti dan kenaikan harga semua barang akibat biaya logistik yang meningkat.
Situasi ini semakin rumit mengingat pengalaman pahit sebelumnya.
Ibrahim mengakui bahwa asosiasi sudah beberapa kali menahan para anggota untuk tidak bereaksi, terutama setelah mengalami kelelahan akibat antrian solar yang panjang dan berbagai unjuk rasa sebelumnya.
Adapun dia menuturkan sangat menantikan keputusan pemerintah pusat terkait penetapan tarif batas atas dan batas bawah untuk jasa angkutan.