Bisnis.com, BALIKPAPAN – Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) mempertegas dedikasinya dalam melindungi spesies orang utan non-releasable melalui pembangunan pulau-pulau buatan.
Sebagaimana diketahui, orang utan non-releasable adalah satwa yang secara medis atau perilaku tidak memungkinkan untuk kembali ke habitat alaminya.
Kepala BOSF Jamartin Sihite menyatakan pulau-pulau tersebut dibangun dengan pendekatan ekologi yang ketat, yaitu menyerupai habitat asli hutan hujan tropis dengan tujuan untuk memberikan kualitas hidup yang optimal di luar fasilitas rehabilitasi.
Hingga kini, BOSF telah mengelola 12 pulau, termasuk 4 pulau utama di Kalimantan Tengah yang berfungsi sebagai hunian jangka panjang bagi orang utan yang tak lagi dapat kembali ke alam liar.
"Setidaknya mereka merasa tinggal di hutan, bukan di kantor," kata Jamartin Sihite dalam keterangan resmi, Rabu (23/4/2025).
Dia menambahkan, pembangunan pulau buatan dilakukan secara bertahap dan terukur. BOSF melakukan survei ekologis sebelum pembangunan, sambil menggalang dana dari publik dan jaringan donor global.
Baca Juga
Meski tidak menerima bantuan finansial langsung dari pemerintah, Jamartin memaparkan BOSF mengandalkan dukungan regulatif sebagai fondasi hukum operasional mereka.
"Dukungan pemerintah bukan dalam bentuk uang, tapi lewat regulasi, seperti UU Nomor 32 (Tahun 2009) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi dasar kuat menjadikan lokasi rehabilitasi sebagai kawasan konservasi permanen," katanya.
Dia menyebutkan, pihaknya terus memperluas jaringan kolaborasi, termasuk dengan pemerintah daerah.
Salah satu rencana strategis mereka adalah memanfaatkan pulau-pulau kosong di Sungai Mahakam dan Teluk Balikpapan, yang bekerja sama dengan Gubernur Kalimantan Timur.
Pulau yang ideal, menurut Jamartin, minimal memiliki luas lima hektare dan ditumbuhi pohon buah sebagai sumber pakan alami.
"Jika belum ada (pohon buah), kami harus menanam sendiri dari awal," katanya.
BOSF mencatat bahwa sekitar 90% orang utan yang datang ke pusat rehabilitasi merupakan korban konflik dengan manusia. Akar permasalahan ini tidak lain adalah alih fungsi lahan besar-besaran.
"Ketika kita datang ke rumah mereka, artinya apa? (kita yang mengganggu). Ini pengingat bahwa konflik muncul karena habitat mereka makin sempit," ujar Jamartin.
Dia menuturkan kolaborasi antarpihak, seperti pemerintah, masyarakat, dunia usaha, hingga komunitas global menjadi kunci dalam mengatasi konflik dan menjaga kesinambungan hidup orang utan di tanah Kalimantan.