Bisnis.com, BALIKPAPAN- Memiliki potensi masyarakat tradisional dan luasan hutan, keberadaan hutan adat dan masyarakat adat di Kaltim justru masih sangat minim.
Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) mengakui bukan perkara mudah untuk mendorong pengakuan masyarakat adat dan hutan adat di Kaltim terpenuhi.
Margaretha Setting Beraan, Ketua AMAN Kaltim menilai, saat ini keberadaan regulasi terkait pengakuan hutan adat masih sangat minim.
“Untuk Kaltim jumlahnya belum terlalu signifikan. Saat ini ada tiga yang kita perjuangkan untuk menjadi hutan adat salah satunya hutan Jumetn Tuwayatn [Kutai Barat], dan hutan Umaq Wak [Mahakam Ulu]," jelasnya dihubungi bisnis belum lama ini.
Aman memerinci sejumlah perda adat tengah didorong untuk pemenuhan hutan adat di komunitas Muluy, Kabupaten Paser oleh LSM PADI, dan TNC yang mendorong hutan adat untuk komunitas Wehea di Kutim.
"LSM/ CSO di Kaltim ikut mendorong hutan adat, dan hampir semuanya sekarang sedang dalam proses mendorong perda pengakuan MHA. Salah satu syarat mendapat legalitas hutan adat adalah adanya pengakuan terhadap komunitas adat pemilik hutan tersebut sebagai MHA."
Baca Juga
Dia mengatakan sejauh ini baru terdapat dua hutan adat yang sama-sama terletak di Kabupaten Kutai Barat. Luasannya pun tak seberapa, untuk hutan adat Hemaq Beniungyakni seluas 48,85 hektar dan Hutan Adat Kekau seluas 4,026 hektar.
“Ini masih jauh dari harapan. Belum mencukupi kebutuhan masyarakat adat. Luas kawasan hutan di Kaltim 12.638.936 Ha bayangkan kalau 10 jutanya adalah hutan adat, hutan yg selama ini ada dalam wilayah adat,” jelasnya.
Kaltim sebenarnya memiliki banyak potensi namun banyak pula yang belum mengetahui proses untuk pemenuhan sebagai masyarakat adat. Di samping itu pihaknya menilai upaya mengungkap adat istiadat dan informasi yang ada di komunitas masyarakat adat juga belum maksimal.
“Ini perlu sosialisasi. Pemerintah daerah juga belum terlalu memahaminya,” sebutnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri LHK No. 23/2015 tentang Hutan Hak, hutan adat merupakan hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat. Dalam pasal 6 disebutkan penetapan hutan adat harus memenuhi tiga syarat, salah satunya keberadaaan masyarakat hukum adat atau hak ulayat yang telah diakui oleh pemerintah daerah melalui produk hukum daerah.
"Kalaupun ada, masih perda tata cara pengakuan yang isinya tata cara pengakuan, seperti di Kubar. Perda semacam ini masih perlu langkah panjang untuk menuju pengakuan," tuturnya.
Setiap usulan hutan adat, kata dia, umumnya terkendala pada komunitas adat yang belum mendapat pengakuan masyarakat hukum adat (MHA).
Dia mengatakan upaya memperkuat dan mendorong komunitas adat melakukan pemetaan wilayah adat guna menghitung potensi hutan adat dan mengatur tata ruang wilayah adat tak mungkin dilakukan sepihak saja.
Pihaknya mendorong hutan-hutan yang selama ini telah dijaga dan dikelola secara turun temurun dapat dipastikan untuk didorong mendapatkan legalitas dari pemerintah.