Bisnis.com, BALIKPAPAN - Rencana pemerintah dalam memperbaiki kebijakan tarif Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dinilai bakal mendukung iklim usaha.
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia, Prijandaru Effendi mengungkapkan bahwa pemerintah memang harus turun tangan secara total dalam menjembatani kesenjangan tersebut.
Menurutnya, hubungan antara PT Perusahaan Listrik Negara (persero) dengan pengembang pembangkit memang tak bisa dikondisikan secara business to business (B to B).
"Bagaimana pun juga, kami paham dalam menentukan harga beli, PLN punya undang-undang sendiri,” ujarnya Sabtu (16/11/2019).
Menurut Prijandaru saat ini kendala pokok yang dihadapi oleh para pengembang listrik panas bumi adalah masalah harga yang tidak pernah mendapatkan titik temu.
Pasalnya, harga keekonomian proyek panas bumi yang dihitung para pengembang selalu ada di atas daya beli PLN yang diukur dengan Biaya Pokok Penyediaan (BPP).
“Masalahnya klise dari dulu. Bagaimanapun pengembang wajib untung dan mendapat margin dari harga proyek. Sementara PLN untuk menentukan harga juga punya undang-undang sendiri dan mereka juga diwajibkan mendapat untung dari pemerintah,”imbuhnya.
Energi panas bumi, kata dia cukup seksi sehingga sebenarnya banyak pengusaha, baik pemain besar maupun yang masih baru, tertarik untuk mengelola sumber eneri ini.
Namun, tentu saja pengusaha tidak mau rugi. Dengan risiko begitu besar dalam proses produksinya, tentu mereka ingin mendapatkan return yang paling pas.
Perihal potensi energi panas bumi, Prijandaru menjabarkan, saat ini potensi panas bumi Indonesia mencapai 25.000 MW (25 GW), tetapi yang terpakai baru sebesar 2.000 MW (2 GW).
Meskipun sumbernya berlimpah seperti energi fosil, satu-satunya konsumen panas bumi di Indonesia hanyalah PLN, karena gas bumi tidak mungkin diekspor.
Sumber energi panas bumi di Indonesia sendiri mencapai lebih dari 300 titik di seluruh Indonesia. Cadangan panas bumi di Indonesia adalah salah satu yang terbesar di dunia.
Oleh karena itu tidak heran kalau tahun 2025 nanti, pemerintah sudah memasang target pengembangan panas bumi sebesar 7,5 GW.
“Masalahnya bagaimana mengejar dari 2GW menuju 7,5GW itu dalam 5 tahun?” tekannya.
Adapun sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, F.X Sutijastoto mengatakan bahwa saat ini pemerintah sedang memperbaiki kebijakan harga EBT dan diharapkan Perpresnya sudah bisa diteken awal tahun depan.
Kebijakan harga baru tersebut dimaksudkan untuk memastikan percepatan pengembangan EBT berjalan dengan baik, khususnya guna mengurangi neraca perdagangan yang defisit. Dirjen Toto menyatakan bahwa kebijakan energi ke depan akan berlandaskan pada 3 pilar, yaitu energy equity, environmental sustainability, dan energy security.