Bisnis.com, PONTIANAK - Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sanggau, Kalimantan Barat Seno menilai keberadaan Pabrik Kelapa Sawit (PKS ) tanpa kebun bisa mengganggu tata niaga atau harga Tanda Buah Segar (TBS) sawit lantaran patokan harga tidak terkendali.
“Harga tidak terkendali bisa berdampak negatif bagi pekebun sawit. Itu harus menjadi perhatian bersama agar semua berjalan seimbang,” ujarnya saat dihubungi di Sanggau, Senin (9/11/2020).
Ia menjelaskan, selama ini penyebab beroperasinya PKS tanpa kebun di Kabupaten Sanggau karena tidak mampu menyerap TBS petani atau PKS besar banyak mengalami kendala dan tidak menerima TBS petani swadaya maupun plasma.
“Untuk sementara PKS tanpa kebun bisa menjadi solusi tempat menjual TBS petani, namun tidak boleh dibiarkan terlalu lama ,” jelasnya.
Sejauh ini, Pemkab Sanggau sedang berupaya menutup "loading ramp" yang berfungsi sebagai tempat penimbunan sementara TBS sebelum diolah sebagai penampung TBS petani yang menjadi penyuplai TBS ke PKS tanpa kebun tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan besar, kata dia, adalah keluarnya izin operasi loading ramp tersebut.
"Siapa yang memberi izin beroperasinya loading ramp, dan PKS tanpa kebun itu. Secara aturan apakah sudah legal. Apakah sudah memenuhi persyaratan berdirinya PKS? Pertanyaan-pertanyaan besar yang selama ini belum terjawab," ujar Seno.
Baca Juga
Sebelumnya, Kepala Dinas Perkebunan Kalbar, Heronimus Hero, mengatakan kehadiran PKS tanpa kebun pada awalnya diperkenankan dan telah membantu menyerap TBS milik pekebun. Namun dalam perkembangannya ada aturan yang mengharuskan mereka memiliki kebun sendiri.
“Peraturaan yang ada saat ini PKS tanpa kebun disyaratkan untuk memiliki kebun sendiri yang mampu memasok pabrik minimal 20 persen. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi dalam hal penerapan kebijakan yang ada,” kata dia.
Saat ini terdapat lima PKS tanpa kebun di Kalimantan Barat. PKS tersebut tersebar di beberapa daerah, antara lain Sanggau dua pabrik, Bengkayang, Melawi, dan Landak, masing-masing satu pabrik.
Menurutnya, beberapa di antara pabrik ini telah berupaya memenuhi persyaratan tersebut. Dalam hal ini, maka peran pemerintah kabupaten sangat penting dalam mengawal kemajuan yang dilakukan oleh PKS tanpa kebun tersebut.
Kehadiran PKS tanpa kebun di satu sisi telah memberikan pasar bagi petani ataupun pekebun sawit, mengingat saat ini jumlah PKS di Kalbar tidak sebanding dengan jumlah Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang telah dikeluarkan. Saat ini, sebut dia, ada 374 IUP yang telah dikeluarkan, namun jumlah PKS yang ada, termasuk PKS tanpa kebun, baru ada 110 pabrik.
“Di sisi lain, kehadiran PKS tanpa kebun berpotensi mengganggu pasar bahkan berpotensi mengarah pada bentuk persaingan tidak sehat karena telah mengakibatkan terganggunya pasokan bahan baku bagi PKS yang memiliki kebun,” kata dia.
Sementara itu, Ketua Gabungan Perusahaan Sawit Indonesia (GAPKI) Kalimantan Barat, Purwati Munawir menyarankan seyogyanya pemerintah daerah setempat membentuk tim untuk menilai sebaran pabrik yang ada di lapangan dan keterkaitannya terhadap sumber bahan baku milik pekebun non mitra dan sejauh mana penerapan Permentan. Jika memang terbukti menyimpang dari ketentuan yang ada perlu segera ditertibkan.
“Dalam aturan yang ada bahwa kegiatan usaha pengolahan hasil perkebunan dapat didirikan pada wilayah perkebunan swadaya masyarakat yang belum ada usaha pengolahan hasil perkebunan setelah memperoleh hak atas tanah dan perizinan berusaha dari pemerintah pusat,” jelas dia.