Bisnis.com, BALIKPAPAN –– Petani swadaya di Kabupaten Paser terus berbenah untuk peningkatan kualitas sektor perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim).
Melalui inisiatif Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) atau program yang dikenal sebagai sertifikasi sawit berkelanjutan mendorong petani swadaya ikut terlibat dalam rantai pasok kelapa sawit global.
Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Kabupaten Paser Iwan Himawan mengungkapkan bahwa manfaat sertifikasi tersebut memperluas rantai pasar, meningkatkan harga tandan buah segar (TBS) dan pengetahuan petani dalam konteks perkebunan.
“Kami berterima kasih kepada pemerintah kabupaten Paser yang telah mendukung kami sesuai dengan kemampuan. Kami mengapresiasi semangat dan dukungan luar biasa dari Disbun (Dinas Perkebunan),” katanya melalui sambungan telepon, Senin (15/5/2023).
Saat ini, petani bersama PT Gawi Makmur Kalimantan (GMK) dan NGO Kehati bersama-sama terus mendukung program RSPO.
Pada awalnya, para petani membentuk koperasi Berkah Taka Mandiri(BTM) yang mencakup dua kecamatan dan lima desa. Meski proses ini memerlukan waktu dan biaya besar, tapi berkat kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak ada 232 dari 300 anggota koperasi yang telah berhasil mendapatkan sertifikat RSPO pada Desember 2022.
Menurutnya, penting bagi petani juga memahami sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil), yaitu standar dari pemerintah Indonesia untuk perkebunan sawit berkelanjutan selain skema pasar sawit global.
Secara ekonomi, Iwan menambahkan penting bagi petani untuk membentuk kemitraan dengan pabrik agar harga TBS dapat dipastikan.
"Dengan sertifikasi, kami dapat memperoleh kredit RSPO yang diakumulasikan, dari konversi CPO untuk kemudian diekspor. Ini (sertifikasi) mempermudah penerimaan CPO kami di pasar global," jelas Iwan.
Meski demikian, dia menyebutkan kendala yang dihadapi adalah proses penerimaan kredit RSPO yang biasanya memakan waktu setahun. Kemudian, masalah mobilitas dan prasarana menuju Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dan isu mengenai ketersediaan pupuk.
Sejak subsidi pupuk bagi petani dihapus pada 2023, Iwan mengatakan pihaknya berusaha untuk menggunakan pupuk organik dan sebagian lainnya mau tidak mau membeli pupuk nonsubsidi.
"Kami berharap harga pupuk nonsubsidi itu tidak lagi selangit [kedepannya]," tambah Iwan.
Selain itu, dia mengungkapkan bahwa 10 persen petani swadaya diwilayahnya saat ini membutuhkan replanting. Meski begitu, beberapa dari petani memilih bertahan dan berharap mendapatkan bantuan dari program pemerintah Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Menurut Iwan, sejak tergabung melalui SPKS Paser dan koperasi BTM pada 2019, terdapat urgensi terhadap perlindungan harga oleh perusahaan sesuai kemitraan yang memungkinkan petani untuk naik kelas dengan mengetahui siklus pasar guna mengelola kebun secara berkelanjutan.
"Kami mengajak semua petani untuk bergabung atau membentuk koperasi lainnya, bersama-sama menuju petani RSPO," pungkasnya.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman Hairul menyatakan sektor perkebunan belum menunjukkan peningkatan ekonomi yang signifikan, meski Kaltim merupakan daerah penghasil sawit.
Hal itu diketahui dari upah yang tidak atraktif dan mengakibatkan permintaan terhadap barang pasar rendah. Selain itu, infrastruktur yang belum memadai menjadi tantangan lain dalam industri sawit.
Dengan demikian, dia mengajukan solusi guna mendongkrak ekonomi daerah lewat potensi sawit, yaitu dengan memindahkan kebijakan pungutan pajak PBB di sektor perkebunan, pertanian, dan perikanan dari kewenangan pusat kepada pemerintah daerah.
Berbeda dengan pabrik yang bisa dipindahkan, perkebunan tidak bisa dipindahkan. Dengan demikian, syarat kebijakan fiskal tersebut dapat terpenuhi dan Kaltim bisa mendapatkan porsi pajak yang signifikan tanpa harus mengandalkan dana bagi hasil.
“Dari tahun 2000-an omongan saya tidak pernah dihiraukan DPR maupun pemerintah,” tegasnya.
Kemudian, dia menjelaskan hilirisasi industri sawit juga sulit dilakukan karena biaya produksi dan transportasi yang tinggi di Kaltim.
Oleh karena itu, pemerintah bisa berinvestasi atau memberikan hibah dari nilai pajak yang didapat untuk membangun pabrik mini yang mengolah TBS menjadi CPO. "Dengan demikian, petani kita tidak akan dirugikan," terang Hairul.
Adapun, dia menuturkan bahwa pemerintah bisa bekerja sama dengan BUMDes untuk membangun pabrik mini tersebut sebagai insentif dari kebijakan fiskal.
“Otonomi daerah bukan hanya berarti pembagian dana, tetapi juga pembagian kewenangan. Itu jika kita ingin meningkatkan daya saing, transformasi ekonomi dan hilirisasi industri perlu dilakukan,” pungkasnya.