Bisnis.com, BALIKPAPAN – Masyarakat pegiat Mangrove Center Graha Indah Balikpapan mengakui alih fungsi lahan dan sampah plastik masih menjadi ancaman bagi keberlangsungan konservasi mangrove sebagai habitat bekantan.
Ketua Kelompok Pengelola Mangrove Center Graha Indah Balikpapan, Agus Bei menyatakan saat ini permasalahan penting dalam pengelolaan mangrove di Balikpapan adalah ancaman alih fungsi lahan. Hal ini menurut Agus Bei sangat wajar karena area sekitar mangrove center tak jauh dari pusat industri perkapalan di Balikpapan.
“Saya percaya kalau kini hutan mangrove di Indonesia itu mengalami krisis. Saya percaya karena ada alih fungsi lahan. Jadi begini berbicara isu lingkungan harus seimbang, ekologi, dan ekonomi. Kalau kejar ekonomi saja jelas akan tereksploitasi itu,” ujar Agus Bei saat ditemui Bisnis di area Mangrove Center Graha Indah, Rabu (27/2/2019).
Agus Bei yang menerima penghargaan Kalpataru dari Presiden Joko Widodo dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2017 untuk komitmen mengembangkan mangrove secara swadaya ini mengatakan pada tahun 2008 dia pernah menerima ancaman. Hal itu tercermin dari kasus penebangan ilegal beberapa mangrove oleh oknum tak dikenal.
Menurut Agus permasalahan tersebut tidak membuat dia menyalahkan si penebang, ataupun pihak yang memerintahkan penebangan itu. Agus menilai, alih fungsi lahan juga disebabkan oleh tumpang tindihnya peruntuhkan lahan pada tahun 1980-an, dimana masih ada izin yang dikeluarkan untuk industri kepada beberapa pihak. Sementara di sisi lain, area tersebut sudah dinyatakan menjadi area konservasi mangrove.
“Ironis adalah keseimbangan bumi tergantung pada hutan, sebab hutan adalah salah satu serapan karbon yang memang dialami. Kalau karbon tidak diserap, bumi ini tidak bisa ditinggali oleh manusia. Yang kedua, meningkatnya kenaikan suhu bumi. Diperkirakan setiap tahun mengalami proses berapa derajat dan ini jadi concern dunia,” kata Agus mengingatkan pentingnya melindungi arena pengembangan mangrove.
Mangrove Center Graha Indah yang berada di area perumahan rakyat ini memiliki luas 150 hektare. Agus Bei bersama 9 orang melakukan pengembangan sejak 2001 secara swadaya. Dengan luas 150 hektare dan 23 spesies mangrove di dalamnya, Agus Bei mengklaim telah memberi kontribusi terhadap perubahan emisi karbon 40 ton udara. pencapaian sampai seluas 150 hektare ini memang tidak mudah, apalagi awalnya lahan di Graha Indah ini hanya 40 hektare untuk mangrove, dan sisanya adalah lahan tambak rakyat.
Agus mengaku, dalam kurun waktu 18 tahun pengembangan mangrove center tak banyak kontribusi pemerintah daerah. Agus Bei mengandalkan bantuan kemitraan dan kerja sama tanpa pamrih dari tim yang terbentuk.
Agus menilai dengan keterbatasan anggaran pemerintah daerah dan benturan dari skala prioritas pembangunan, dia mengaku lebih mengharapkan kontribusi dari kemitraan. Meski demikian, dia juga menerangkan potensi ekonomi yang diberikan dari mangrove center terhadap pemerintah daerah sebagai destinasi wisata di Balikpapan. Oleh sebab itu, dia menyarankan pentingnya keberpihakan pemerintah pusat kepada pengelolaan mangrove sebagai peluang pertumbuhan ekonomi daerah.
Pria kelahiran Banyuwangi, 29 September 1968 yang hijrah ke Kalimantan Timur sejak 1989 ini mengatakan Mangrove Center Graha Indah telah menjadi contoh pengembangan mangrove yang sukses di tingkat nasional dan luar negeri. Kondisi ini membuat ada banyak wisatawan dan peneliti dari dalam dan luar negeri yang datang ke lokasi mangrove ini.
Salah satu pengelola Mangrove Center Graha Indah, Herman Ferlani mengatakan kepada Bisnis, selain menjaga iklim, serta menumbuhkan sektor ekonomi perikanan dan pariwisata, hutan mangrove adalah satu-satunya harapan untuk habitat hewan endemik Kalimantan, yakni bekantan.
“Sebenarnya di mangrove ini ada jenis yang menghabiskan buah-buahan untuk dimakan bekantan. Ada namanya buah Avicennia lanata dan Avicennia marina. Dua buah ini makanan bekantan. Ada pula dedaunan yang menjadi makanan bekantan, yaitu daun dari jenis Sonneratia alba,” kata Herman.
Herman menambahkan, salah satu kendala lain yang perlu diperhatikan oleh pemerintah pusat dan daerah, serta para wisatawan adalah tingginya sampah plastik dari laut yang terbawa sampai ke area mangrove center. Oleh sebab itu para pengelola telah membuat jaring-jaring sampah, dan dengan jaring memungut setiap sampah di area perairan mangrove.
“Sampah plastik itu banyak dari laut, kalau masuk ke sini, dan tersangkut di akar mangrove, itu bisa membahayakan pertumbuhan mangrove,” jelas Herman.
Herman berharap, agar pemerintah pusat dan daerah secara khusus bisa memberikan edukasi dan pengawasan lebih ketat terhadap sampah plastik di laut. Selain merusak hewan dna biota laut, sampah plastik juga menghambat tanaman hutan tropis.