Bisnis.com, JAKARTA - Pansih (74 tahun) merapal mantra dalam bahasa Dayak kuno di sebuah rumah panggung terbuka di Dusun Lanjau, Desa Riam Batu, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Terhampar di depan sesepuh adat itu sesajen berupa seekor babi, beberapa ekor ayam, serumpun kayu kumpang dan tempayan berisi tuak. Tak berapa lama, Pansih menjetikkan butiran beras ke arah hewan sesaji. Babi hitam yang diikat kaki dan mulutnya sontak mengerang, diikuti sahutan ayam berkokok.
Masyarakat Dusun Lanjau yang menyemut di sekitar rumah panggung terbuka tersebut tengah mengikuti upacara adat Mulai ke Buah, sebuah ritual mengembalikan roh-roh penghuni alam yang dipercaya mendiami buah-buah yang dituai masyarakat saat musim panen. Puncaknya, seekor ayam disembelih dan dihanyutkan ke sungai, sebagai tanda mereka menolak bala dan membuang jauh bahaya penyakit usai menikmati panen buah. Sisa ayam dan babi serta tuak dinikmati warga sebagai bentuk syukuran atau gawai.
Pansih beserta warga Lanjau lainnya merupakan bagian dari 961 jiwa masyarakat adat Seberuang yang mendiami Desa Riam Batu seluas 5.213 hektar. Dari pusat Kabupaten Sintang, desa ini berjarak 77 km, dan dari Pontianak sejauh 464 km.
Masyarakat Riam Batu menjadikan hutan adat yang membentang seluas 2.936 hektar sebagai tumpuan hidup, sebagian besar berprofesi sebagai petani tradisional. Hutan mendatangkan padi, sayur-mayur, karet, air bersih, bahkan listrik melalui pembangkit listrik tenaga mikrohidro (Pltmh) yang mulai difungsikan sejak 2018.
Berdasarkan peruntukannya, wilayah adat Riam Batu terdiri atas hutan adat 61,03%, perladangan 19,13%, karet 12,10%, kebun tengkawang 6,52%, lahan milik komunitas adat 0,95% dan pemukiman 0,27%.
Seperti juga terjadi di banyak komunitas masyarakat adat, permukiman Riam Batu beserta ladang dan kawasan yang diklaim sebagai hutan adat, berdiri di atas wilayah hutan lindung. Pemerintah Desa Riam Batu kini tengah mengupayakan penerbitan Surat Keputusan (SK) tentang hutan adat dari Pemerintah Kabupaten Sintang, sebagai turunan Perda No. 12 Tahun 2015 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kelembagaan Adat dan Masyarakat Hukum Adat. Pengesahan ini akan menjadi legitimasi dari pemanfaatan nilai ekonomis hutan adat sebagai sumber penghidupan masyarakat adat.
"Sekarang kami sedang mulai menggalakkan kerajinan tangan, rotan, damar dan sebagainya. Itu sekarang mulai kami laksanakan, dari hasil hutan, untuk menambah ekonomi masyarakat disini," kata Sebastianus Muntai, Kepala Desa Riam Batu.
Secara legal, masyarakat yang mengambil hasil hutan lindung akan dikenakan sanksi sesuai Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan. Namun berdasarkan Putusan MK No 35/2012 tentang Hutan Adat, masyarakat adat bebas dari sanksi tersebut. Syaratnya, ada pengakuan masyarakat dan hutan adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang diawali dengan SK Bupati Sintang.
Peneliti Conservation Strategy Fund (CSF) Indonesia Aziz Khan menjelaskan, SK Bupati Sintang tak kunjung turun meski Perda yang membawahinya telah terbit sejak 2015. Dia mengatakan, ada keraguan dari pihak legislatif dan eksekutif atas potensi ekonomi masyarakat adat dalam mengelola wilayahnya.
"Mereka juga curiga bahwa keberadaan masyarakat adat akan menjadi faktor penghambat investasi," katanya.
Namun, Aziz menemukan justru sebaliknya. Kajian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan CSF Indonesia 2018 menunjukkan, masyarakat adat Seberuang Riam Batu memiliki keunggulan ekonomi yang unik. Hasil kajian membuktikan nilai produk sumberdaya alam dan jasa lingkungan Wilayah masyarakat adat Seberuang Riam Batu mencapai total Rp38,49 miliar/tahun. Angka ini terdiri dari nilai ekonomi produk SDA sebesar Rp27,14 miliar/tahun dan nilai jasa lingkungan sebesar Rp11,35 miliar/tahun.
Nilai total tersebut bila dirata-rata per kepala keluarga (KK) dan per kapita, maka angkanya adalah berturut-turut Rp145,79 juta/KK/tahun dan Rp36,45 juta/kapita/tahun, atau dalam hitungan per bulan berturut-turut Rp12,15 juta/KK/bulan dan Rp 3,04 juta/kapita/bulan.
Angka-angka tersebut jika disandingkan dengan angka Upah Minimum Regional (UMR) Sintang per bulan dan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita masih lebih besar. Angka UMR Kabupaten Sintang 2017 sebesar Rp 2,03 juta/bulan. Maka angka nilai ekonomi per kapita hasil valuasi ekonomi masih jauh lebih tinggi, yakni Rp 3,04 juta/bulan.
Sementara, PDRB per kapita per tahun Kabupaten Sintang 2016 mencapai Rp27,89 juta, lebih kecil dibanding dengan nilai ekonomi per kapita per tahun wilayah masyarakat adat Seberuang yang sebesar Rp36,45 juta.
Hasil kajian juga mengungkap kelompok sumber daya alam dan lingkungan yang menjadi sumber utama ekonomi masyarakat adat Seberuang Riam Batu. Antara lain, petai, lebah madu, jengkol, rebung, pakis, tengkawang, cempedak, durian, kayu, padi ladang, karet, cabe, dan jahe.
"Penghidupan mereka dari hutan adat, tetapi dari hukumnya disebut oleh pemerintah hutan lindung. Makanya perlu sesegera mungkin diterbitkan SK tentang hutan adat disini," ujarnya.