Bisnis.com, BALIKPAPAN –– Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menghadapi tantangan inflasi yang lebih tinggi daripada rata-rata nasional, terutama pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau.
Sebagaimana diketahui, inflasi Kaltim mencapai 3,46%, sedikit di atas inflasi nasional sebesar 2,61% pada tahun 2023.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah daerah bersama dengan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) mengembangkan sebuah sistem peringatan dini (early warning system/EWS) inflasi yang berbasis data harga komoditas pangan strategis.
EWS inflasi ini merupakan salah satu upaya untuk memanfaatkan data dan informasi yang tersedia melalui Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) dan Laman Informasi Ekonomi Komoditas Kaltim (Laminetam) sebagai dasar untuk mengambil keputusan yang tepat dan efektif dalam mengendalikan inflasi.
EWS inflasi ini juga diharapkan dapat meningkatkan koordinasi dan sinergi antara anggota TPID dalam menjaga stabilitas harga di Kaltim.
Kepala Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia (Kpwbi) Kaltim Budi Widihartanto menyatakan EWS inflasi ini merupakan terobosan yang inovatif dan proaktif dalam mengantisipasi dan merespon pergerakan harga komoditas pangan.
Baca Juga
“Pengembangan EWS Inflasi yang dilakukan berupa ambang batas (threshold) perubahan harga yang dapat dijadikan objective judgement bagi seluruh anggota TPID untuk melaksanakan upaya pengendalian inflasi," ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (8/1/2024).
Harapannya, TPID dapat menentukan waktu yang tepat untuk melakukan intervensi pasar atau kebijakan lainnya yang sesuai dengan kondisi di lapangan.
Budi menjelaskan, EWS inflasi ini dibangun dengan menggunakan data harga harian dari 11 komoditas pangan yang memiliki andil besar dalam inflasi gabungan dua kota Indeks Harga Konsumen (IHK) Kaltim, yaitu Balikpapan dan Samarinda.
Ke-11 komoditas tersebut adalah beras, daging ayam ras, telur ayam ras, minyak goreng, cabai rawit, cabai merah, bawang merah, bawang putih, LPG, ikan layang, dan daging sapi.
“Dengan menggunakan metode Vector Autoregressive (VAR), EWS inflasi ini dapat menghitung threshold kenaikan harga masing-masing komoditas yang dapat memicu inflasi di atas target 5%,” katanya.
Jika harga komoditas melewati threshold tersebut, Budi menyebutkan maka TPID dapat segera melakukan tindakan yang diperlukan untuk menstabilkan harga.
Misalnya, harga beras memiliki threshold 5,94%. Artinya, jika harga beras naik lebih dari 5,94%, maka ada kemungkinan besar harga makanan lain juga akan naik dan menyebabkan inflasi.
“Setiap tambahan satu komoditas yang melampaui threshold 50% akan meningkatkan kemungkinan inflasi makanan di atas 5% sebesar 23,7%. Sedangkan setiap tambahan satu komoditas yang melampaui threshold 20% akan meningkatkan kemungkinan inflasi makanan di atas 5% sebesar 13,2%,” paparnya.
Dengan demikian, Budi menyarankan agar TPID lebih fokus pada komoditas pangan yang berada di threshold 20% atau extensive margin, yaitu saat komoditas masuk ke threshold untuk pertama kalinya, dan komoditas yang sudah melampaui threshold 50%.
EWS inflasi ini juga telah diuji keandalannya dengan melakukan robustness check dan regresi probit. Hasilnya, dinilai berhasil dengan cukup akurat untuk memprediksi inflasi.
Adapun, Budi berharap EWS inflasi dapat menjadi salah satu instrumen yang efektif dan efisien dalam mengendalikan inflasi di Kaltim, khususnya pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau.