Bisnis.com, SAMARINDA – Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mencabut pembatasan produksi batubara karena akan membuat perekonomian di Bumi Etam terpuruk dalam tiga tahun mendatang.
Wakil Gubernur Kalimantan Timur Hadi Mulyadi menyatakan pembatasan yang dilakukan Kementerian ESDM untuk mendisiplinkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) memang diperlakukan.
Namun persentase pembatasan hanya 33 juta ton dari sebelumnya 69 juta ton telah melampaui 50% produksi batu bara di Kalimantan Timur.
“Kami sudah bernegosiasi dengan kementerian. Ini sedang dengan Komisi VII,” ujar Hadi, Rabu (20/3/2019).
Dia menyatakan secara ideal untuk menjaga pertumbuhan Kalimantan Timur memang jangan sampai ada penurunan produksi batu bara. Oleh sebab itu untuk mengatasi pemegang IUP yang nakal, diperlukan alternatif lain.
Salah satunya dengan menguatkan peran pengawas seperti aparat kepolisian dan hakim untuk melakukan penindakan secara tegas jika ditemukan pelanggaran.
Baca Juga
“[Idealnya] Jangan turun [produksinya], tetapi satu sisi kita ingatkan walau kadang pengusaha nakal, kuota 69 juta mereka produksi lebih. Tetapi penurunan ini akan jadi masalah, karena ada banyak perusahaan yang akan berpindah karena mereka sudah punya kontrak jangka panjang karena penurunan kuota ini tidak sesuai dengan kontrak yang sudah mereka miliki,” tutur Hadi.
Untuk mempercepat proses, Hadi mengaku telah menyampaikan kepada DPR-RI Komisi VII terkait rencana pembatasan tersebut dan potensi kerugian berupa penurunan ekonomi di Bumi Etam.
Ketua Asosiasi Pengusaha Batu Bara Samarinda (APBS) Eko Priyatno akan sangat berimbas terhadap harga dan pendapatan komoditas ini. Oleh sebab itu, ia mengusulkan, pemerintah perlu mengusulkan cara pendisiplinan lain ketimbang membatasi produksi.
Eko menilai perlu ada penyesuaian aturan jangan hanya semata untuk memenuhi kebutuhan powerplan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dia mengusulkan agar target pembelian batu bara sesuai spesifikasi bisa dipisahkan sehingga bisa mendongkrak pendapatan.
“Kalau misalnya [batu bara] kalori tinggi dipaksakan tinggi DMO dia mau jual kemana padahal konsumennya low kalori. Ini kaitannya banyak dengan PLN, maka PLN dengan low grade, harganya pun disesuaikan murah, memang ketika harga jatuh orang masih ramai ke PLN karena mereka jual dengan harga yang rendah,” tutur Eko.
Sementara itu, Kepala Bank Indonesia Perwakilan Kaltim Muhamad Nur juga mengutarakan hal yang sama. Dia menyatakan bahwa Surat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 7 Februari 2019 itu menegaskan bahwa produksi batu bara di Kaltim 2018 lalu adalah 69,64 juta ton.
Sementara untuk realisasi pemenuhan Domestic Market Obligation atau pengendalian produksi sebesar 8,32 juta ton. Kementerian ESDM juga menegaskan kuota produksi IUP pada 2019 ini hanya menjadi 33,28 juta ton.
Pembatasan ini diprediksi akan membuat pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Timur terancam menyentuh -2,7% tahun ini. Alasannya, karena pendapatan asli daerah juga masih bergantung dari dana bagi hasil.
Selain itu pembatasan ini jelas akan menimbulkan pengurangan cadangan devisa sekitar US$2,8 miliar dan pengurangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sampai Rp1,3 triliun.
“Tentu kemampuan membangun infrastruktur akan jauh berkurang. Namun penting masyarakat current account [cadangan devisa] kita kehilangan US$2,8 miliar,” terang Nur kepada Bisnis.
Dia menyatakan, dengan pengurangan cadangan devisa nasional tentu ada efek domino terhadap ekonomi nasional. Misalnya saja, pengendalian kredit usaha rakyat (KUR) dan investasi semakin sulit.
Selain itu Nur juga mengingatkan tentang proyeksi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) seiring dengan produktivitas yang ditekan. Berkaca dari argumen itu, dia yakin tidak ada alasan bagi pemerintah pusat untuk membatasi produksi batu bara hanya kepada IUP yang patuh.