Bisnis.com, SAMARINDA – Bank Indonesia Perwakilan Kalimantan Timur menyatakan banjir di Samarinda dan sekitarnya selama 6 hari telah mencatatkan kenaikan harga pangan.
Ketua Tim Advisory Ekonomi dan Keuangan Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw-BI) Kaltim, Harry Aginta menyatakan berdasarkan informasi harga yang diperoleh dari situs PIHPS Nasional, harga komoditas pangan utama di Kota Samarinda pasca banjir mulai 10 Juni 2019, masih mengalami deflasi.
Dia menyatakan tekanan harga mulai meningkat pada Senin, 17 Juni 2019.
“Berdasarkan komoditasnya, peningkatan harga komoditas pangan utama Kaltim tanggal 17 Juni 2019 dipengaruhi oleh naiknya bawang merah, sebesar 3,16% (day to day), dibandingkan tanggal 10,” papar Harry di Hotel Aston Samarinda, Selasa (18/6/2019).
Dia menambahkan, level harga bawang merah di Kota Samarinda saat ini masih terbilang normal, atau masih sama dengan level harga bawang merah sebelum periode Ramadan. Harry menambahkan, penurunan inflasi juga terkonfirmasi dari hasil SPH yang dilakukan Bank Indonesia di Kota Samarinda.
Harry menyatakan, berdasarkan hasil SPH sampai dengan minggu ketiga Juni 2019, inflasi Samarinda tercatat 0,02% (m-t-m), atau lebih rendah dibandingkan periode Mei 2019 yang tercatat 0,52% (m-t-m).
Baca Juga
Adapun berdasarkan komoditasnya, tekanan inflasi SPH sampai dengan minggu ketiga, Juni 2019, bersumber dari daging sapi, telur ayam, dan cabai merah.
Oleh sebab itu, dia menyebut bahwa dampak banjir di Samarinda diperkirakan tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat inflasi Juni 2019. Pelabuhan peti kemas Palaran, yang merupakan sentra distribusi barang di wilayah Kaltim juga tidak terkena dampak dari bencana banjir.
“Sehingga kelancaran arus barang tetap terjaga,” papar Harry.
Pengamat ekonomi dan lingkungan hidup Universitas Mulawarman, Bernaulus Saragih menyatakan bencana banjir yang menimpa Kota Samarinda dan sekitarnya telah mengakibatkan opportunity loss atau kondisi merugi karena hilangnya kesempatan kerja.
Dia menyebut ada banyak perkantoran, ruko, dan kegiatan usaha lainnya yang terpaksa tutup dan tak beroperi karena banjir.
“Bayangkan kalau 10.000 orang terganggu dengan rata-rata kerja per hari dapat Rp75.000, per hari sudah Rp750 juta. Itu kalau tenaga kerja aktif tidak produktif dan hilang kesempatan,” jelas Bernaulus kepada Bisnis.
Dia menyebut dengan kondisi banjir yang berlangsung selama 6 hari saja, kerugian yang dihasilkan sekitar Rp4,5 miliar.
Angka kerugian selama banjir ini belum dihitung dengan sejumlah biaya yang digelontorkan pasca banjir. Bernaulus menyebut umumnya biaya pemulihan dalam rumah tangga juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Bisnis mencatat, data korban banjir menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Samarinda ada 56.123 jiwa dengan total 17.485 kepala keluarga dari 5 kecamatan dan 13 kelurahan.
“Ini meningkatkan pembiayaan rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan pemulihan. Misalnya berbagai alat rumah tangga dan alat elektronik yang rusak terendam banjir maka sungguh benar jika ekonomi menjadi lumpuh,” tutur Bernaulus.
Selain dampak di tingkat rumah tangga, biaya pemulihan di tingkat lingkungan masyarakat juga tak sedikit.
Misalnya saja biaya untuk penanggulangan kawasan yang terdampak banjir, pemeritnah harus menggelontorkan dana untuk memperbaiki tatanan kota yang rusak, kerusakan kawasan pemukiman, sampai dampak kesehatan. Misalnya penanggulangan penyebaran penyakit akibat bakteri yang tersebar selama banjir.
“Pasca banjir ini yang lebih banyak biaya dari lingkungan, kesehatan, perbaikan tatanan perumahan, dan saluran sumber air bersih,” sambungnya.
KERUGIAN PELAKU USAHA
Sementara itu pelaku usaha perhotelan di Kalimantan Timur mengaku banjir telah menggerus profit bisnis hotel bintang empat dan lima.
Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kaltim, Muhammad Zulkifli menyatakan banjir yang menimpa Samarinda mulai 9 Juni 2019 telah mengakibatkan kerugian khususnya bagi sejumlah hotel bintang empat dan bintang lima yang bintang empat yang ikut tergenang banjir.
Zulkifli mengambil contoh Hotel Midtown dan Hotel Amaris yang tidak beroperasi optimal akibat banjir.
“Ada beberapa hotel, anggota kami PHRI juga menjadi korban banjir ini. Mereka [hotel] tidak bisa dilewati. Misalnya saja Hotel Midtown, Hotel Amaris, dan Hotel Grand Victoria,” terang Zulkifli.
Zulfkifli juga menyatakan umumnya restoran yang berada di sekitar Jalan DI. Panjaitan, Jalan Pahlawan, dan Jalan PM Noor, hingga akses menuju Bandara Aji Pangeran Tumenggung (APT) Pranoto. Menurut Zulkifli, kerugian per hari yang dialami hotel bintang empat dan lima ini bisa mencapai Rp25 juta per hari.
“Misalnya kita bayangkan Midtown ada 50 kamar, rata-rata harganya kita pasang Rp500.000 per malam. Karena kosong tidak ada yang menginap sudah rugi Rp25 juta per hari. Ini sudah berjalan lebih dari sehari. Itu baru hotel, belum restoran dan rumah makan,” ujar Zulkifli.
Meski demikian, kondisi banjir di Samarinda juga memberi keuntungan bagi hotel bintang satu, bintang dua, dan bintang tiga.
Zulkifli memprediksikan selama banjir empat hari ini, ada banyak pengungsi yang memutuskan tidak bermalam di posko. Umumnya malah memilih menginap di hotel bintang satu atau bintang dua.
“Saya memprediksikan ada kenaikan untuk bintang satu sampai bintang tiga ini sekitar 5% sampai 10% dari para pengungsi banjir,” terang Zulkifkli.
Dia pun menilai banjir ini telah merugikan perusahan hotel yang besar. Pasalnya rata-rata hotel berbintang satu ini okupansi biasanya sekitar 45% sampai 55%. Namun dengan bencana banjir bisa menjadi 65%.