Bisnis.com, BALIKPAPAN – Polemik kualitas Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax di Kota Samarinda menemui babak baru karena hasil uji sampel menunjukkan tidak sesuai dengan standar.
Wali Kota Samarinda Andi Harun menyatakan hasil kajian ilmiah independen mengungkapkan bahwa sampel Pertamax yang diambil dari kendaraan konsumen terdampak menunjukkan ketidaksesuaian signifikan terhadap standar mutu yang ditetapkan.
"Hasilnya, dari tiga sampel yang diuji parameter Research Octane Number (RON), ketiganya menunjukkan angka di bawah standar minimal Pertamax (92)," kata Andi Harun dalam keterangan resmi, Selasa (6/5/2025).
Andi merinci, sampel pertama RON 86,7, sampel kedua RON 89,6, dan sampel ketiga RON 91,6. Sampel dengan RON tertinggi (91,6) justru mengungkap lebih banyak ketidaksesuaian.
"Dipilih sampel terdampak yang memiliki RON terbaik dari ketiga sampel tersebut, yaitu sampel ketiga dengan RON 91,6, untuk diperdalam penelitian terhadap parameter lainnya," ucap Andi.
Empat parameter penting teridentifikasi melampaui ambang batas toleransi, yaitu kandungan timbal mencapai 66 ppm (analisa ICP_OES), kadar air sebanyak 742 ppm (metode Karl Fischer), Total Aromatik sebesar 51.16%v/v (analisa GC-MS), dan kandungan Benzen menyentuh 8.38%v/v (analisa GC-MS).
Baca Juga
Temuan ini memicu pertanyaan serius mengenai pengawasan dan jaminan kualitas BBM yang beredar di masyarakat. Angka-angka ini jelas mengindikasikan kualitas BBM yang jauh dari harapan.
Tidak berhenti di situ, untuk memperkuat temuan, uji sedimen menggunakan SEM-EDX dan gugus fungsi dengan FTIR dilakukan pada sampel terdampak (RON 91,6).
Hasilnya, telah terdeteksi kontaminan Timah (Sn), Rhenium (Re), dan Timbal (Pb) yang berpotensi mempercepat reaksi oksidasi BBM menjadi Hidrokarbon Kompleks.
Lebih lanjut, konfirmasi FTIR-Analyzer menunjukkan terbentuknya senyawa berbobot molekul besar seperti polyethilen, polistirean, polipropilina, dan poliakrilonitril.
Senyawa-senyawa inilah yang diklaim menjadi biang keladi rusaknya BBM Pertamax, ditandai dengan terbentuknya GUM yang menyebabkan tersumbatnya filter pada sistem injeksi bahan bakar. Walhasil, performa kendaraan konsumen pun terganggu.
Andi menuturkan penyebab utama kerusakan kendaraan konsumen adalah kualitas BBM yang tidak memenuhi standar kelayakan atau telah mengalami degradasi.
"Beberapa faktor yang diduga dapat memicu kerusakan BBM antara lain penyimpanan yang terlalu lama, paparan langsung atau tidak langsung terhadap cahaya matahari, kontaminasi kelembaban udara/air dan logam, sistem penyimpanan dengan ventilasi buruk, hingga penambahan zat aditif yang tidak terukur," ucapnya.
Sebagai tambahan informasi, sejumlah kendaraan marak mengalami kerusakan di sejumlah wilayah di Kalimantan Timur setelah mengisi BBM di SPBU dalam rentang Februari hingga saat ini.