Bisnis,com, JAKARTA -- Para calon jemaah haji dari Kalimantan Barat sempat dibikin kecewa karena keberangkatan mereka ke Batam untuk persiapan menunaikan haji, terhambat.
Pasalnya, maskapai yang hendak membawa mereka dari bandar udara Internasional Supadio Pontianak enggan mengambil risiko mendarat di landasan bandara itu pada Jumat (19/7) lalu.
Penyebabnya adalah jarang pandang bandara terhalang oleh kabut asap selama satu hari penuh sejak pagi hari. Semestinya maskapai saat itu, Sriwija Air bisa membawa para calon jemaah pada pukul 07.00 Wib, harus ditunda dan mesti kembali ke Jakarta.
Barulah ketika tebal kabut asap menipis, maskapai bisa mendarat di bandara Supadio dan para jemaah jadi berangkat ke Batam sebelum pukul 12.00 Wib.
Kejadian kabut asap menghalangi jarang pandang pesawat terbang, bukan sekali ini saja tetapi berlangsung berkali-kali apabila hutan lahan sekitar kawasan bandara Supadio terbakar.
Para organisasi masyarakat sipil dibuat geram atas kejadian karhutla karena timbulnya kabut asap membuat kerugian yang tidak sedikit. Oleh karena itu, masyarakat terpaksa harus mengajukan gugatan hukum melawan pemerintah Indonesia supaya peduli mengatasi karhutla dari tingkat pengadilan negeri hingga kasasi.
Baca Juga
Dan, tertundanya keberangkatan calon jamaah asal Kalbar berangkat ke Batam itu, bertepatan dengan putusan kasasi Presiden RI cq sejumlah kementerian terkait tuntutan masyarakat terhadap pemerintah untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan.
Dalam putusan perkara No. 3555 K/Pdt/2019, pada pokoknya MA menolak kasasi dari pemerintah RI dan menguatkan putusan judex facti.
"Inti pokok adalah kewajiban negara dalam melindugi warga negaranya sehingga wajib segera menanggulangi dan menghentikan bencana alam atau kebakaran hutan yang mengancam jiwa raga dna harta benda warganya," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah dari siaran persnya.
Di dalam putusan itu, tegas disebutkan bahwa negara mesti segera mengupayakan atau ada tindakan yang diperlukan sesuai dengan gugatan a quo demi kepentingan umum.
Salah satu penggugat Arie Rompas mengatakan, dengan kekalahan pemerintah di tingkat kasasi menjadi penegasan maka pemerintah harus menjalankan gugatan dari warga karena keputusan itu berkekuatan hukum tetap.
"Karena kalau Peninjauan Kembali (PK) tidak bisa menghentikan eksekusi, kalau mereka [pemerintah] memilik PK ya, eksekusi tetap dijalankan. Keputusan hukum siapa pun, harus patuh karena terbukti bersalah," kata Arie saat dihubungi Bisnis, Minggu (21/7).
Dia menilai, tidak ada lagi alasan bagi pemerintah kesulitan mengatasi karhutla karena arahan merevisi regulasi sudah ada disertai payung hukum atas keputusaan MA untuk menghentikan karhutla.
"Ini kemenangan masyarakat bersama-sama, kalau pemerintah tidak menjalani putusan maka preseden buruk sebagai penyelenggara negara tetapi tidak mentaati proses demokrasi apabila mengabaikan putusan MA itu," ucapnya.
Terpisah, Menteri LHK Siti Nurbaya melalui siaran pers diterima Bisnis mengatakan, pemerintah akan melakukan upaya PK dengan dalil pemerintah sudah melakukan banyak perubahan menangani karhuta pasca kejadian 2015.
"Presiden Jokowi dan seluruh jajaran pemerintah membuat langkah koreksi yang signifikan, hasilnya ada dan nyata. Dalam 4 tahun terkahir dengan segal tantangan yang sangat tidak mudah, kami mampu menghindari berulang kembali bencana karhuta seperti dulu-dulu," imbuhnya.
Siti menilai karhutla sebelum Presiden Jokowi menjabat, karena disebabgkan persoalan berlapis di tingkat tapak, mulai dari lemahnya regulasi, sampai pada oknum masyarakat hingga korporasi yang sengaja membakar atau lalai menjaga lahan mereka.
Untuk diketahui, keputusan kasasi MA itu bermula ketika perwakilan masyarakat tergabung dalam Gerakan Anti Asap Masyarakat Kalimantan Tengah menggugat Pemerintah Indonesia cq KLHK cq Kementerian Pertanian cq Kementerian Agraria dan Tata Ruang cq, Kementerian Kesehatan cq Kementerian cq Kementerian Dalam Negeri cq DPRD Kalimantan Tengah.
Gugatan itu terdaftar dengan perkara No. 118/Pdt.G/LH/2016/PN Plk, pada 16 Agustus 2016 lalu. Dalam tuntutannya, masyarakat meminta supaya pengadilan memerintahkan pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, PP tentang tata cara penyelenggaraan kajian lingkungan hidup strategis, PP tentang baku mutu lingkungan mencakup baku mutu air, baku mutu air laut, baku mutu udara ambien dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain itu, tuntutan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan, PP tentang instrumen ekonomi lingkungan hidup, PP tentang analisis risiko lingkungan hidup, PP tentang tata cara penanggulangan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup dan PP tentang tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup.
Sebelumnya, Arie mengatakan tuntutan itu bermula ketika peristiwa karhutla terjadi berulang kali setiap tahun sejak 1997 hingga puncaknya pada 2015 sehingga perlu gerakan dari masyarakat terdampak karena menderita akibat asap yang muncul untuk menggugat secara hukum terhadap pemerintah.
"Pemerintah hanya menindaklanjuti pembentukan Badan Restorasi Gambut, sementara penindakan hukum atas perizinan di atas lahan gambut tidak dilakukan. Banyak izin diberikan di atas lahan gambut tidak ditindak yang membuat gambut menjadi kering dan mudah terbakar," kata dia.
Dalam perjalanan waktu, gugatan warga atau citizen law suit itu dikabulkan pengadilan pada 22 Maret 2017.
Namun, sebagai tergugat pemerintah mengajukan banding dengan No. 36/Pdt/2017/PT.Plt. Banding itu menguatkan putusan PN Palangkaraya.
Tidak puas dengan dengan putusan banding, pemerintah mengajukan kasasi dan ditolak lagi oleh pengadilan.