Bisnis.com, SAMARINDA — Kalimantan Timur (Kaltim) menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang menghadapi tantangan dalam hal pembangunan berkelanjutan. Pengembangan ekonomi biru dan pengelolaan emisi karbon menjadi tugas besar yang telah mulai dijalankan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam kurun 2000 hingga 2017 Kaltim kehilangan hutan seluas 176.400 hektare akibat berbagai faktor, seperti perkebunan sawit, hutan tanaman, pertambangan, penebangan, pertanian, tambak, dan sebagainya.
Selain itu, Kaltim juga rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan, dengan 14.000 titik api yang tersebar di seluruh wilayahnya.
Lahan gambut pun tidak luput dari ancaman, karena memiliki potensi sebagai penyimpan emisi karbon yang bisa dilepaskan ke udara jika terbakar. Hal ini membuat Kaltim menempati peringkat ketiga nasional sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di tahun 2011.
Menyadari kondisi tersebut, pemerintah Kaltim berupaya menerapkan konsep pembangunan hijau, yang berorientasi pada keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan perlindungan lingkungan.
Salah satu inisiatif yang diambil adalah dengan mendeklarasikan Kaltim Green pada 2010, yang merupakan kebijakan untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan dan mengurangi dampak perubahan iklim.
Baca Juga
Dalam kebijakan ini, salah satu aspek yang menjadi perhatian adalah pengelolaan ekosistem karbon biru, yaitu ekosistem pesisir dan laut yang dapat menyerap dan menyimpan karbon, seperti bakau atau mangrove, padang lamun, dan terumbu karang.
Ketua Harian Dewan Daerah Perubahan Iklim (DPPI) Kalimantan Timur Daddy Ruhiyat menyatakan karbon biru merupakan salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang dihadapi Kaltim.
"Dengan mengelola ekosistem karbon biru secara baik, kita dapat mengurangi emisi gas rumah kaca, sekaligus meningkatkan nilai ekonomi dan sosial dari sumber daya pesisir dan laut. Oleh karena itu, kami mengapresiasi adanya forum diskusi seperti ini, yang bertujuan untuk memperkaya pengetahuan dan kebijakan terkait karbon biru," ujar Daddy dalam acara diskusi virtual, Jumat (8/3/2024).
Kepala Bidang Pengelolaan Ruang Laut, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Timur, M. Ali Aripe menyatakan karbon biru memiliki keterkaitan erat dengan konsep ekonomi biru, yang mengedepankan tiga pilar penting, yaitu ekologis, ekonomi, dan sosial.
"Nilai ekonomi biru di Kaltim bersumber pada sumber daya perikanan penghasil garam, ekowisata, dan jasa lainnya. Nilai ekologis bersumber pada potensi lahan mangrove dan padang lamun. Hal ini kemudian digambarkan pada program dan kegiatan pengelolaan ruang laut yang ada," sebutnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan Lahan, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, M Subiyantoro mengungkapkan bahwa salah satu ekosistem karbon biru yang menjadi prioritas adalah mangrove, yang memiliki fungsi ekologis dan ekonomis yang sangat penting.
"Terdapat 5 strategi konservasi mangrove di Kaltim, yaitu penguatan kerangka kebijakan dan kelembagaan, memperkuat manajemen dan tata kelola, peningkatan peran masyarakat, penegakan hukum dalam melakukan konservasi mangrove, dan mendorong mekanisme pendanaan yang mendukung konservasi mangrove," tuturnya.
Kendati demikian, upaya-upaya tersebut dinilai tidak akan berjalan lancar tanpa adanya dukungan pendanaan yang berkelanjutan.
Untuk itu, pemerintah telah membentuk BPDLH, yang bertugas untuk mengelola dana lingkungan hidup, termasuk dana iklim, yang berasal dari berbagai sumber, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat.
Dana tersebut kemudian dialokasikan untuk mendanai program atau aktivitas yang sesuai dengan tujuan dan target BPDLH, seperti dukungan manajemen, subsidi, hibah, jaminan, dan pinjaman.
Kepala Divisi Penyaluran Dana Program, BPDLH, Lia Kartikasari memaparkan salah satu program prioritas yang dijalankan adalah pengurangan emisi gas rumah kaca, yang relevan dengan pengelolaan karbon biru.
"Saat ini, kami mengelola dana lingkungan sebesar US$1.615 miliar, yang di antaranya berasal dari hibah Bank Dunia sebesar US$419 juta untuk kegiatan rehabilitasi dan pengelolaan mangrove. Kami berharap dana ini dapat dimanfaatkan dengan baik oleh para penerima manfaat, baik pemerintah daerah, lembaga, maupun masyarakat," paparnya.
Selain skema pendanaan konvensional, terdapat pula skema pendanaan inovatif, yang menggabungkan unsur modal alam, modal sosial, dan modal keuangan.
Program Direktur PT PT Gaia Eko Daya Buana (GAIA Indonesia) Joseph Hutabarat menyatakan skema ini dianggap lebih mampu mengakomodasi kepentingan dan kesejahteraan berbagai pihak, serta memberikan insentif bagi pelestarian lingkungan.
Dia menuturkan skema pendanaan inovatif ini meliputi berbagai mekanisme, seperti pembayaran jasa lingkungan, perdagangan karbon, green bond, blue bond, dan sebagainya.
"Skema ini dapat menjadi alternatif atau pelengkap bagi skema pendanaan konvensional, yang masih memiliki keterbatasan dan tantangan dalam implementasinya," pungkasnya.