Bisnis.com, PONTIANAK – Pemerintah Kalimantan Barat minta kepada investor perkebunan kelapa sawit di daerah itu untuk membuat peta definitif desa di wilayah konsesi sebagai upaya penanganan kebakaran lahan dan hutan.
Wakil Gubernur Kalbar Christiandy Sandjaya mengatakan, peta definitif yang dibuat oleh perusahaan perkebunan diharapkan bisa menekan angka kebakaran lahan dan hutan (Karhutla) secara sengaja atau tidak oleh perusahaan.
“Perusahaan lain harus bikin program peta definitif serupa yang sudah dilakukan oleh PT Sinar Mas Tbk. Pemerintah ke depan, tidak akan toleransi lagi dengan kesalahan kalau ada perusahaan yang sengaja membakar lahan,” kata Christiandy, belum lama ini.
Christiandy menyebutkan, pada tahun lalu ada 116 perusahaan perkebunan yang lokasinya terpantau dari satelit memiliki titik panas dan api.
Kemudian setelah diselidiki oleh pihak kepolisian Kalbar, terungkap empat perusahaan sengaja membakar lahan.
“Program siaga api sudah harus dibikin oleh perusahaan supaya perusahaan cepat menanggulangi kebakaran kebun. Jadi pemerintah tidak menuduh dan berprasangka terhadap perusahaan karena ada data yang akurat,”
Pada kesempatan yang sama, Head Corporate Social Responsibilty (CSR) and National Stakeholder Engagement Sinar Mas Zukri Saad mengatakan, perusahaan akan menerapkan peta definitif perkebunan Kabupaten Ketapang sebagai program perusahaan itu dalam mencegah kebakaran lahan di wilayah sekitar perkebunan paling lambat akhir Maret 2016.
“Di Ketapang ada 8 desa didorong membuat peta definitif dengan mekanisme 5 regu di wilayah sekitar kebun dan 8 regu di desa. Total ada 200 orang di Ketapang terlibat dalam program Siaga Api ini,”
Peta definitif merupakan bagian program Siaga Api dan penting diterapkan oleh setiap desa yang masuk dalam wilayah konsesi perkebunan emiten berkode Smart tersebut.
Peta definitf dinilai mampu mengidentifikasi pelaku kebakaran.
Dengan peta definitif, perusahaan dan masyarakat desa bersepakat tidak melakukan aktivitas ekonomi untuk pembukaan lahan yang memiliki nilai konservasi tinggi seperti di sekitar sungai, wilayah tanah ulayat, habitat satwa dan tanaman asli hutan.
Dengan demikian, menurutnya, di peta itu bisa terlihat wilayah yang lahannya boleh dibuka atau tidak untuk kawasan perkebunan. Pembukaan lahan di wilayah yang boleh dikelola juga tanpa dibakar.
“Sejak 2007, kami mempunyai kebijakan burning zero yaitu, tidak boleh ada pembakaran sedikit pun untuk membuka lahan dan di lahan gambut juga tidak boleh ditanami (kelapa sawit). Selama 2015 lalu, hanya 0,5% lahan kami yang terbakar,”
Zukri mengklaim selama periode tersebut, lahan yang terbakar bukan berasal dari ulah warga desa sekitar konsesi perkebunan tetapi dari warga di luar desa. Akibatnya, perusahaan sulit mengidentifikasi pelaku pembakar lahan.
Dia berharap, setelah peta itu berjalan lancar selama 2 tahun maka akan diterapkan di wilayah konsensi lain milik perusahaan itu seperti di Kabupaten Kapuas Hulu.