Wajah Asdi, tampak tegang tanpa ekspresi. Kemeja putih memudar lengan panjang, dimasukkan ke dalam celana kain hitam panjang.
Bersama 64 peserta mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) non prosedural lainnya, dia baru saja resmi menjadi peserta Unit Latih Kerja Entikong.
Pria berumur 25 tahun itu berharap setelah menimba ilmu merakit motor, mobil dan mesin bisa membuka lapangan usaha bengkel di kampungnya yaitu, Kecamatan Darit, Kabupaten Landak, kelak.
“Saya tamat sekolah dasar, pendidikan kurang tinggi jadi sulit mendapatkan pekerjaan. Untuk membantu orang tua, saya rela bekerja di Malaysia dengan status ilegal pada 2013,” kata dia kepada Bisnis, pekan lalu.
Nasib Asdi buruk di negeri Jiran tersebut. Dia diiming-imingi oleh agen yang membujuknya bisa mendapatkan pekerjaan dengan kepastian gaji sebesar 900 ringgit atau setara Rp2,9 juta per bulan.
“Saya berangkat ke Malaysia dengan biaya hidup ditanggung agen, paspor juga biaya ditanggung. Sampai di Kuching, majikan saya bilang digaji 500 ringgit nyatanya 2 tahun dikontrak tidak digaji,” ujar Asdi yang mengaku bekerja di sebuah restoran.
Selama 7 bulan di ibu kota Serawak Malaysia itu, dia tidak mendapatkan sepeser pun upah 500 ringgit.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mengirim uang orang tuanya di kampung dan pengobatan neneknya, Asdi harus meminjam uang sebesar 200 ringgit sampai 2 kali atau setara Rp1.2 juta-an kepada majikannya.
Tanpa digaji itulah, yang akhirnya membuat dia memutuskan pulang ke Indonesia melalui Konsulat Jenderal Republik Indonesia (Indonesia) Kuching untuk dideportasi.
Setelah kembali ke Kalimantan Barat, dia diminta oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalbar untuk mendaftar sebagai peserta ULK Entikong.
Peristiwa yang dialami Asdi, hampir terjadi terhadap para TKI ilegal lain yang mencari pekerjaan di Malaysia.
Negeri ini acap kali sebagai tujuan primadona pencari kerja tak berdokumen lengkap kendati berisiko tidak gaji atau tidak karena tergiur janji manis oknum tidak bertanggung jawab agensi pengiriman TKI.
Data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan (BNP2TKI) menyebutkan Malaysia menjadi negara terbesar dari 25 negara penempatan TKI yang formal sepanjang 1 Januari hingga 31 Januari 2016 sebanyak 8.352 orang dari total TKI yang dikirim sebanyak 21.763 orang.
Namun, BNP2TKI mencatat kedatangan 363 orang TKI dari Malaysia melalui Pintu Lintas Batas Entikong dengan rincian 207 yang dipulangkan dan 156 karena bermasalah terjaring Polisi Diraja Malaysia.
Kepala Disnakertrans Kalbar Muhammad Ridwan menginformasikan lebih dari 1.000 orang TKI bermasalah masuk melalui PLB Entikong sepanjang 2015 dan ada 287 orang TKI sepanjang Januari 2016 ini.
“Kami ingin menyebut yang dideportasi TKI non prosedural bukan TKI ilegal lagi. Mereka bermasalah di Malaysia karena tidak digaji, dokumen tidak lengkap maka kami tidak ingin membiarkan lagi TKI ilegal sehingga dibikinlah pelatihan ULK Entikong tahun ini,”
Di pelatihan itu, 64 orang angkatan pertama termasuk TKI yang dideportasi selama sebulan penuh diberikan keterampilan keahlian otomotif, mesin, kecantikan dan menjahit, tanpa dipungut biaya.
Asisten II Perekonomian Kesejahteraan Sosial Pemprov Kalbar Lensus Kandri mengatakan, pemerintah melakukan kerjasama 8 instansi swasta dan dinas teknis di pemerintah daerah untuk merekrut para TKI yang dilatih ULK Entikong itu.
Dengan demikian, mantan TKI ilegal tersebut bisa bekerja kembali. “Pemerintah tidak punya kemampuan memadai sehingga bekerjasama dengan sektor swasta, BUMN dan instansi teknis pemerintah sebagai upaya TKI bisa bekerja kembali,” tuturnya.
Sesungguhnya langkah Pemprov Kalbar memberikan keterampilan kepada mantan TKI ilegal dan menjalin kerja sama dengan sejumlah pihak mempekerjakan peserta ULK tersebut sebagai upaya memperluas lapangan pekerjaan yang patut diapresiasi seiring dengan isu sedang hangat belakangan ini tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).