Bisnis.com, BALIKPAPAN- Ketidakpastian areal kawasan hutan merupakan salah satu penghambat efektifitas tata kelola hutan di Indonesia.
Sepanjang tahun ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencata Kalimantan berada di posisi kedua setelah Sumatera terkait konflik tenurial.
Sedangkan, berdasarkan topologi Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Kalimantan konflik tenurial masyarakat dengan pemegang izin ada 28 konflik di Kalimantan.
Dari 201 konflik di 28 provinsi Indonesia itu, Kaltim bersanding dengan Sumatera Selatan di urutan keempat dengan jumlah 16 konflik.
Di bawah Riau dengan 36 konflik, kemudian Jambi dengan 26 konflik.
“Banyaknya konflik tenurial di Kaltim bersumber dari kasus lama belum diselesaikan, kemudian muncul lagi konflik baru. Sehingga tren setiap tahun meningkat,” jelas Hamsuri Mediator Asociated Impartial Mediator Network (IMN) dalam bincang ringan dengan Bisnis, Sabtu (30/12) pagi.
Baca Juga
Konflik yang terjadi, menurutnya, karena ketidakselarasan antar kebijakan, dan ketimpangan penguasaan.
Selain itu pemberian izin-izin yang tidak terkoordinasi, serta kurang efektifnya kelembagaan dan mekanisme penanganan konflik, disebutnya mengabaikan hak masyarakat lokal maupun adat.
Fasilitator Forum Peduli Teluk Balikpapan ini menilai, potret konflik tenurial di Kaltim tahun ini dominan di sektor perkebunan.
“Sesuai data yang kami kumpulkan sepanjang pertemuan NGO (organisasi non pemerintah) di Kaltim tahun ini,” sebutnya.
Misalnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kaltim periode 2017, kasus pertanahan yang ditangani sebanyak 7 kasus, 3 di antaranya adalah konflik sektor perkebunan.
Riwayat permasalahannya, sebut Hamsuri, berupa ganti rugi lahan yang belum selesai dan kasus tumpang tindih lahan.
Lain halnya, Dinas Perkebunan Kaltim hingga September 2017 mencatat, ada total 60 kasus, terdiri dari kasus lahan dan non lahan.
Kasus lahan terdiri dari ganti rugi lahan, tumpang tindih perizinan, okupasi atau pendudukan, tanah adat, mencapai 60% atau sebanyak 41 kasus.
Sedangkan kasus non lahan terdiri dari tuntutan plasma, pembagian hasil, tidak memiliki IUP, penolakan masyarakat dan lain-lain, mencapai 32% atau sebanyak 19 kasus.
“Periode 2017 target penanganan konflik sebanyak 20 kasus, hingga September 2017 baru terealisasi 15 penanganan konflik oleh Disbun,” sebutnya.
“Semakin lama konflik, semakin besar biaya sosial yang muncul, belum lagi dampak psikologisnya, menurut saya, penting untuk memperhatikan alternatif penyelesaian konflik yang bisa memulihkan relasi para pihak,” sambungnya.
Sedangkan data dari Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Kaltim yang masuk ke pihaknya, per Desember 2017, 7 dari 12 kasus yang dilaporkan oleh masyarakat adat adalah persoalan lahan adat yang tumpang tindih dengan perkebunan sawit.
“Sebagian besar adalah kasus lama yang belum ada penyelesaiannya hingga saat ini. Kedua itu di sektor pertambangan,” ujarnya menjelaskan.
Dari keseluruhan itu, mekanisme penyelesaian umumnya diselesaikan dengan cara penegakan hukum, melalui program perhutanan sosial, reforma agrarian dan mediasi.
“Pemerintah sudah berupaya dengan berbagai cara dalam penanganan konflik di berbagai sektor, tetapi itu belum cukup mampu menekan angka konflik yang selalu meningkat setiap tahun. Perlu ada terobosan revolusioner, kehadiran kelembagaan khusus yang berperan untuk penanganan konflik di pada level provinsi,” ujarnya.