Bisnis.com, BALIKPAPAN — Kinerja sektor pertambangan di Kalimantan Timur (Kaltim) meningkat sepanjang tahun 2022.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kaltim, Ricky P Gozali menyatakan lapangan usaha pertambangan tumbuh 3,49 persen year-on-year (yoy), dibandingkan dengan pertumbuhan sebesar 2,28 persen pada tahun 2021.
Dia menambahkan, peningkatan ini didorong oleh produksi yang meningkat dan harga batu bara yang tinggi sejak kuartal IV/2021.
"Kenaikan produksi ini seiring dengan momentum tingginya harga batu bara dan peningkatan volume ekspor, terutama ke Tiongkok, Korea Selatan, dan ASEAN," ujarnya dalam keterangan resmi, Jum’at (24/3/2023).
Dia mengungkapkan meski ekspor ke India melambat, Indonesia masih memiliki pembeli potensial dengan permintaan yang tinggi dari negara-negara lain.
Ricky menjelaskan penurunan ekspor ke India disebabkan oleh diskon harga batu bara Rusia yang menjadi pemasok utama bagi India, seiring dengan kondisi geopolitik yang terjadi. Namun, harga batu bara internasional yang tinggi mendorong perusahaan batu bara untuk mengoptimalkan produksi mereka.
Baca Juga
Sebagaimana diketahui, sektor pertambangan dan penggalian di Kaltim mencatatkan pertumbuhan yang lebih kuat pada kuartal IV/2022, tumbuh 5,74 persen (yoy) dari kuartal sebelumnya yang tumbuh 3,63 persen (yoy).
Dengan pangsa pasar 54,53 persen (yoy), sektor pertambangan memberikan kontribusi sebesar 2,67 persen (yoy) terhadap pertumbuhan ekonomi daerah pada kuartal IV/2022. Pada kuartal IV/2022, harga batu bara acuan berada di level 306,88 US$/ton atau rata-rata lima tahunannya.
Selain itu, Ricky menyebutkan kinerja ekspor batu bara Kaltim pada periode yang sama menunjukkan peningkatan 7,60 persen (yoy), atau mencapai 59,3 juta ton.
Di sisi lain, perbaikan kinerja lapangan usaha pertambangan terkonfirmasi dari penyaluran kredit yang masih tumbuh positif.
Kredit pertambangan Kaltim kuartal IV/2022 tercatat tumbuh 74,73 persen (yoy) atau senilai Rp32,5 triliun, lebih tinggi dari nilai kredit pada kuartal sebelumnya yang tercatat sebesar Rp31,5 triliun.
Sementara itu, risiko penyaluran kredit pada sektor pertambangan tercatat rendah, dengan non-performing loan (NPL) hanya 0,44 persen, jauh di bawah ambang batas 5 persen.