Bisnis.com, BALIKPAPAN - Penerapam upah minimum provinsi di wilayah Kalimantan dinilai tidak dapat diterapkan secara pukul rata. Klasterisasi atau pengelompokkan dinilai menjadi jalan keluar. Dengan begitu, usaha kecil semacam UMKM bisa terbebas dari kondisi yang diistilahkan sebagai jebakan Batman.
Pemerintah memutuskan menaikkan upah minimum provinsi 2020 sebesar 8,51 persen. Berdasarkan surat edaran menteri nomor B-M/308/HI.01.00/2019 Kenaikan UMP mengacu pada inflasi nasional sebesar 3,39 persen dan pertumbuhan ekonomi nasional 5,12 persen.
Asosiasi pengusaha Indonesia Kalimantan Timur (Apindo Kaltim) menilai upah minimum provinsi memberatkan sebagian pelaku usaha. Salah satunya adalah pebisnis usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM).
Mereka yang belum memiliki omset besar tidak akan sanggup menerapkan kebijakan tersebut. Jika dilakukan, sama saja menggulung usaha pelan-pelan.
Untuk industri skala besar seperti pertambangan dan perkebunan, pengusaha mengeluh karena produksi tetap dari tahun ke tahun. Di sisi lain biaya yang harus dikeluarkan untuk upah terus naik.
Oleh karena itu, agar tidak merugikan semua pihak perlu ada klaster UMP. Batas bawah honor dibagi menjadi beberapa sektor seperti untuk pengusaha kecil, menengah, dan besar.
Baca Juga
Ketua Apindo Kalimantan Utara Herry Johannes berpandangan serupa. Kenyataan di lapangan memang begitu. Belum lagi jika harus memukul rata gaji angkatan kerja baru lulusan SMK dan SMA tak berketerampian dengan gelar S1.
“Kaltara sependapat dengan klasterisasi upah untuk asas keadilan dan melindungi kemampuan bayar yang disepakati pemberi kerja dan pencari kerja,” kata Herry melalui pesan instan, Kamis (13/2/2020).
Herry menjelaskan bahwa pengusaha terjepit pada generalisasi kebijakan. UMP bergeser menjadi paksaan. Padahal, pemerintah juga tidak bisa penuhi gaji tenaga honorer sesuai regulasi.
“Karut marut ini seperti menggantang asap. UMP naik terus tapi kemampuan bayar pengusaha sangat variatif. Untuk UMKM, UMP semacam jebakan batman,” jelasnya.